Jumat, 05 Juni 2009

KEPATUHAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H


Setelah Amandemen UUD 1945, eksistensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tertuang jelas dalam konstitusi. Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bagian dari kekusaan kehakiman yang merdeka dan secara heirarki berada di bawah Mahkamah Agung yang bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Indonesia sebagai negara demokrasi wajib memberdayakan rakyatnya, menghormati hak-hak rakyatnya, dan berupaya mewujudkan civil society. Salah satu elemen penting perwujudan kedaulatan rakyat dan civil society adalah adanya Pengadilan TUN yang kuat dan dapat memberikan rasa keadilan kepada rakyatnya. Melihat kenyataan ini, jelas pelaksanaan putusan PTUN merupakan kebutuhan mendesak.
Selama delapan belas tahun eksistensi PTUN di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN yang tidak dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Harapan masyarakat terhadap Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa tata usaha negara, belum sepenuhnya dapat terealisasi. Salah satu harapan yang sangat penting dari pencari keadilan melalui PTUN, mengenai pelaksanaan putusan.
Putusan PTUN yang harus dipatuhi untuk dilaksanakan terdiri dari :
• Penetapan Penangguhan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (schorsing) Pasal 67 UU 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004
• Putusan yang telah mempunyai kekuataan hukum tetap.
Dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) dan perubahannya UU No. 9 Tahun 2004, PTUN melalui Ketuanya, hanya sebagai Pengawas Pelaksanaan Putusan PTUN.
Pasal 119 menyebutkan, “Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Siapa pelaksana putusan PTUN ? Yaitu Tergugat itu sendiri. Posisinya selalu ditempati oleh Badan/Pejabat TUN. Memang berbeda dengan perkara perdata, pelaksana putusan adalah di luar pihak yang berperkara, dari Pengadilan itu sendiri melalui Ketua Pengadilan Negeri dengan dibantu Panitera dan Juru Sita bahkan kalau perlu dengan bantuan aparat keamanan.

Pejabat TUN, sebagai pihak yang bersengketa sekaligus pelaksana putusan. Dapatkah dengan sukarela melaksanakannya ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bergantung kepada kepatuhan pejabat itu sendiri untuk melaksanakan Putusan PTUN. Di dalam praktek, justru masih banyak pejabat yang belum mematuhi Putusan PTUN.
Dari suatu penelitian yang pernah dilakukan tahun 2005 dengan sampel PTUN Medan sebagai objek penelitiannya, bahwa putusan PTUN yang dilaksanakan oleh Tergugat di wilayah hukum itu hanya sekitar 30% (Supandi, Disertasi, PPS.USU, 2005).
Selain itu pula pengalaman penulis di dalam praktek selaku Ketua PTUN baik di PTUN Medan maupun PTUN Jakarta, banyak keluhan-keluhan dari pencari keadilan yang harapannya setelah memenangkan proses peradilan belum terwujud. Walaupun upaya secara hukum dalam pelaksanaan putusan telah semuanya ditempuh. Dari mulai pengiriman salinan putusan PTUN sampai dengan diumumkannya pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN di media massa cetak. Juga banyak Penangguhan Pelaksanaan keputusan TUN tidak dipatuhi.
Kondisi ini, menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan menurunkan wibawa pemerintahan. Untuk itu perlu upaya meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN melaksanakan Putusan PTUN?

Upaya meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN
Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN melaksanakan putusan PTUN, melalui perubahan UU. Pola yang dianut oleh Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun yaitu pola eksekusi otomatis, dan paling ekstrim dengan peneguran berjenjang diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 menjadi adanya upaya paksa berupa uang paksa dan sanksi administrasi terhadap Pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan PTUN.
Perubahan yang mendasar dalam UU No. 5 tahun 1986 terletak pada Pasal 116 ayat (4) ayat (5) dan ayat (6). Sehubungan dengan masalah eksekusi, perlu disampaikan berupa perkembangan revisi undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 116, UU No. 5 tahun 1986, sebagai berikut:
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari;

(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan tersebut;
(4) Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan;
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan setelah pemberitahuan dari Ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut;
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal in kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Pasal 116, UU No. 9 tahun 2004, sebagai berikut:
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari;
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Adanya revisi Pasal 116 dapat dikatakan merupakan kemajuan dalam pengembangan kepastian hukum bagi pelaksanaan (eksekusi) suatu Putusan PTUN. Dalam Pasal 116 lama, pelaksanaan putusan lebih bersifat dan mengandalkan pada kesadaran Pejabat dan dorongan oleh instansi hiekrarkis sendiri yang banyak tergantung pada tingkat kepatuhan hukum tergugat. Sedangkan Pasal 116 baru mengenal 2 (dua) jenis upaya paksa yang dapat diterapkan manakala pihak tergugat (Pejabat TUN) tidak mentaati dan melaksanakan secara suka rela putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaraan sejumlah uang paksa dan atau sanksi administrtif. Juga dimungkinkan adanya pengumuman (publikasi) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan PTUN dalam media massa cetak.
Pemberlakuan upaya paksa (uang paksa dan sanksi administratif) merupakan salah satu tekanan agar Pejabat TUN melaksanakan Putusan PTUN. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan upaya paksa berupa uang paksa dan sanksi administratif masih menimbulkan permasalahan, karena sampai sekarang penerapan lembaga upaya paksa tidak berjalan. Belum adanya piranti hukum untuk melaksanakan upaya paksa tersebut.
Untuk itu, perlu pemerintah mengeluarkan Peraturan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan upaya paksa. Di dalamya mengatur :
Siapa yang berwenang memerintahkan upaya paksa ( uang paksa atau sanksi administratif) ?
Menyangkut sanksi administrtif :
 Sanksi administratif apa yang dapat dikenakan ?
( Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya).
 Bagaimana mekanisme pemberian sanksi administratif ?
Menyangkut uang paksa :
Kepada siapa uang paksa dibebankan ? ( Pribadi atau dinas )
Sejak kapan uang paksa mulai diberlakukan ?
Bagaimana mekanisme pembayaran uang upaya paksa ?
Pengumuman di media massa cetak terhadap pejabat yang tidak melaksanakan putusan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Peradilan Di Bidang Kejurusitaan Pada Peradilan Tata Usaha Negara yang memuat contoh pengumuman di mass media cetak.
Ini pun masih ada kendala, selain biaya yang cukup tinggi untuk mengumumkan di media massa cetak yang dibebankan kepada pemohon eksekusi, juga tidak ada sanksi yang tegas yang dapat dikenakan kepada Pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan PTUN.
Langkah konkrit yang dilakukan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), mengeluarkan Surat (Surat Menpan No. B.471/I/1991 tanggal 29 Mei 1991, Perihal : Pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Surat Menpan No. 115/M.PAN/4/2003 tanggal 09 April 2003 Perihal : Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara; Surat Menpan No. SE/24/M.PAN/8/2004 tanggal 24 Agustus 2004, Perihal : Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara) yang ditujukan kepada Para Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur BI, Para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara, Para Gubernur, Para Bupati/Walikota, Para Direksi BUMN/BUMD, Para Pimpinan Badan Hukum Milik Negara untuk di lingkungannya masing-masing mentaati dan melaksanakan putusan PTUN. Apabila Pejabat TUN yang bersangkutan tidak mengindahkan Putusan PTUN agar atasan Pejabat TUN tersebut memberikan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Hal ini merupakan dorongan positif untuk meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN melaksanakan Putusan PTUN.
Setiap perintah pelaksanaan dari Ketua PTUN kepada Pejabat TUN mendasarkan pula pada Surat Menpan dan Menpan mendapat tembusan suratnya.
Memang bukan tidak ada pejabat yang patuh, ada juga pejabat TUN yang patuh melaksanakan putusan PTUN dengan kesadaran sendiri dan telah melaporkannya kepada Ketua PTUN. Tanpa perlu adanya surat perintah dari Ketua PTUN. Tentu kepatuhan pejabat TUN semacam itu yang patut dijadikan suri tauladan bagi Pejabat-pejabat TUN lainnya.
Penutup :
Dalam praktik masih banyak Pejabat TUN yang belum mematuhi putusan Pengadilan TUN. Pelaksanaan putusan pada akhirnya tergantung pada kepatuhan pejabat TUN itu sendiri. Upaya paksa yang ada tidak berjalan efektif. Kalaupun ada kekuatan memaksa itu pun tergantung pada pejabat TUN yang secara hierarki kepangkatan berada di atasnya.
Keadaan tersebut cukup memprihatinkan, karena prinsip akan adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam pemerintahan menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Saran :
Untuk meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN, saya menyarankan :
1. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana upaya paksa.
2. Pejabat TUN yang telah melaksanakan putusan melaporkan kepada Ketua PTUN dengan tembusan salah satunya kepada Menpan
3. Apabila tidak dimungkinkan melaksanakan Keputusan TUN karena adanya perubahan (baik keadaan alam, maupun peraturan perundang-undangan) agar melaporkan kepada Ketua PTUN.
4. Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA untuk pedoman Ketua PTUN dalam Pengawasan pelaksanaan putusan PTUN.
5. Setiap Pejabat yang diperintahkan melaksanakan Putusan PTUN wajib melaporkan kepada Menpan.
6. Menpan diberikan kewenangan untuk merekomendasikan Pejabat-pejabat yang diangkat berdasarkan catatan yang memuat Pejabat yang taat melaksanakan Putusan PTUN.