Senin, 03 November 2008

KEADAAN MAHKAMAH AGUNG

Mahkamah Agung Butuh "Darah Segar"

Selasa, 4 November 2008 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Agung membutuhkan suntikan ”darah segar” yang mampu mempercepat jalannya reformasi peradilan. Untuk itu, diperlukan pemimpin MA yang menjanjikan percepatan pembaruan dan mampu membawa perubahan segera.
Sayangnya, sejumlah pihak meragukan adanya sosok tersebut di kalangan hakim agung yang kini berada di MA.

Terkait hal itu, Senin (3/11), mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga mengusulkan perlunya terobosan hukum demi memasukkan calon yang layak memimpin lembaga peradilan tertinggi tersebut.

”Pimpinan MA mendatang harus memiliki keberanian, harus mengetahui isi perut MA, dan apa saja yang terjadi di dalamnya. Saya mengusulkan orang lama yang sudah punya pengalaman, tetapi kemudian keluar dari MA. Saya konkret mengusulkan Muladi (sekarang Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional) sebagai Ketua MA,” ujar dia.

Muladi memang sempat menjadi hakim agung, tetapi mengundurkan diri. Muladi sempat bersaing dengan Bagir Manan sewaktu pencalonan Ketua MA pada 2001. Namun, Presiden Abdurrahman Wahid kala itu menunjuk Bagir Manan sebagai Ketua MA.
Menurut Benjamin, Muladi mungkin masuk kembali ke MA jika Presiden bersedia menerbitkan keputusan presiden (keppres) pengangkatan kembali sebagai hakim agung. ”Yang dibutuhkan cuma komitmen pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan MA untuk mengedepankan pembaruan peradilan. Sekarang tergantung mereka serius atau tidak. Kalau serius, pemerintah tinggal terbitkan keppres. Lagi pula itu tidak bertentangan dengan UU,” ujar Benjamin.
Usulan tersebut, jelas dia, telah menjadi pemikiran beberapa hakim agung seperti dirinya dan Bustanul Arifin.

Keraguan tentang adanya sosok yang layak menjadi Ketua MA juga dikemukakan sejumlah kalangan. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, mengaku tidak melihat adanya sosok ideal di antara hakim agung. Demikian pula Ketua Pelaksana Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto yang mengaku tak memiliki calon.
MA bersiap
Sementara itu, Pelaksana Tugas Ketua MA Harifin A Tumpa menjelaskan, pihaknya akan menggelar rapat pimpinan dalam waktu satu dua hari mendatang. Rapim akan membicarakan persiapan pemilihan ketua MA dan wakil ketua MA, seperti pembentukan panitia dan tata cara pemilihan.
Harifin menegaskan, pemilihan tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, mengingat ada beberapa hakim agung yang akan menunaikan ibadah haji. Pemilihan juga akan menunggu masuknya enam hakim agung baru hasil pilihan DPR ke MA.
”Suara mereka penting karena mereka nantinya yang akan dipimpin oleh Ketua MA baru,” ungkapnya. (ana)

PILIHAN MENJADI KETUA MA

Ketua Baru dan Reformasi MA

Kompas, Selasa, 4 November 2008 00:42 WIB

Achmad Ali

Setelah Bagir Manan pensiun sebagai Ketua Mahkamah Agung, pimpinan sementara Ketua MA dijabat Harifin Tumpa. Lalu, akan dilakukan pemilihan ketua definitif, yang merupakan hak pilih seluruh hakim agung.

Saya tidak ingin terlibat polemik usia ideal Ketua MA, tetapi kita hormati hak setiap hakim agung untuk menentukan pilihan dan kepercayaannya, dengan mengacu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang lebih penting adalah, dengan ketua baru, bagaimana MA ke depan. Lebih jelas lagi, bagaimana upaya nyata dan prioritas yang dilakukan dalam rangka reformasi MA.

Tak boleh disia-siakan

Pergantian Ketua MA adalah momen yang tak boleh disia-siakan oleh kalangan MA guna mulai mengakomodasi secara bijak dan realistis, aneka kritikan publik yang relevan (tidak kebablasan) selama ini.
Betapa besar peran pengadilan dalam masyarakat modern, dikemukakan Justice Rose E. Bird, Ketua MA Negara Bagian California-AS, “If our courts lose their authority and their rulings are no longer respected, there will be no one left to resolve the divisive issue that can rip the social facic apart. The courts are a safety wanve without which no democratic society can survise”.
Seperti sinyalemen Hakim Agung Bird, MA harus tampil sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang memiliki kewibawaan, sebab hanya dengan demikian berbagai putusannya dihiraukan dan dihormati masyarakat. Betapa besar peran pengadilan, terutama MA sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi, terkait dengan yang pernah dinyatakan Presiden ke-3 AS, Thomas Jefferson, ”The implementation of the law is more important than the making of them”.
Kepemimpinan baru MA harus diterima dengan sikap yang tidak pars pro toto, yang menggeneralisasi seolah semua hakim agung adalah sosok yang memiliki kinerja buruk. Kenyataan, ada banyak hakim agung yang memiliki integritas baik, komitmen tinggi untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta penguasaan dan wawasan hukum yang luas, ditambah pengalaman cukup, baik dari jalur hakim karier maupun nonkarier. Karena itu, upaya reformasi MA untuk tampil sebagai ”MA yang responsif” bukan kemustahilan yang senantiasa memunculkan pesimisme. Yang penting, ada tidaknya ”kemauan” dan ”komitmen” kalangan hakim agung, dan sekaranglah saatnya.

Berbagai langkah reformasi MA harus dalam rangka mengoptimalkan perannya, yang berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

Selain reformasi kelembagaan yang sementara ini revisi undang-undangnya digodok di DPR, yang tak kalah penting adalah reformasi kualitas sosok hakim agung. Targetnya, melahirkan hakim agung yang memiliki karakteristik hakim agung ideal, yaitu integritas, berkepribadian tak tercela, adil, profesional, dan memiliki kreativitas untuk—jika dibutuhkan—melakukan terobosan melalui putusannya.
Mengingat proses merekrut hakim agung merupakan kewenangan Komisi Yudisial, maka ke depan, amat diharapkan revisi UU MA, MK, dan Komisi Yudisial akan menjamin terwujudnya hubungan harmonis antara MA, MK, dan Komisi Yudisial. Hal ini mau tak mau memengaruhi persepsi publik terhadap lembaga penegakan hukum kita.
Karakteristik profesi hakim

Salah satu karakteristik profesi hakim menurut Richard A Posner, (2008 : 206 ), ”A judge is a generalist who writes an opinion under pressure of time in whatever case, in whatever field of law, is assigned to him”.

Mengingat profesi hakim yang generalis dan senantiasa dituntut memutus dalam waktu cepat berdasar asas the speedy administration of justice (peradilan cepat) dan asas non-liqued (tidak boleh menolak perkara apa pun yang diajukan kepadanya), apalagi tugas hakim agung bukan lagi sebagai iudex facti (hakim fakta), melainkan iudex iuris (hakim yang menilai ada atau tidaknya kesalahan dalam penerapan hukum), maka keterampilan rechtsvinding (penemuan hukum), rechtscheppend (penciptaan hukum) dan rechtstoepassing (penerapan hukum) mutlak harus terus ditingkatkan, baik secara otodidak maupun melalui berbagai pelatihan formal bagi para hakim agung.
Hal itu juga akan menghasilkan aneka putusan MA yang tidak hanya adil, tetapi juga kian responsif karena seperti dikatakan Justice Oliver Wendell Holmes, ”Dalam proses menghasilkan putusan, para hakim bersumber dari kebutuhan pada masanya, moral umum dan teori-teori politik, intuisi tentang apa yang menjadi kebutuhan kebijakan umum, dan selaras dengan vorverstandnis (prapengetahuan, prasangka) yang juga dipunyai hakim dan dipandu oleh suatu kesadaran situasi (a situation sense) yang dihasilkan oleh bekerjanya sekelompok faktor yang sifatnya internal maupun eksternal”.

Achmad Ali Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin

Sabtu, 01 November 2008

KEBIJAKAN PERPAJAKAN

PERUMUSAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

WIBAWA PENGADILAN

Kita Tak Habis Mengerti
Oleh Satjipto Raharjo

Kompas, Sabtu, 1 November 2008 00:34 WIB

Berkali-kali kalimat ”kita tak habis mengerti” muncul dalam tajuk Kompas berjudul ”Rontoknya Wibawa Pengadilan” (23/10/2008). Suatu pengeroyokan, pembunuhan, dan penganiayaan telah terjadi di Lantai Tiga Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebenarnya Kompas dan kita semua tidak terlalu tidak-habis-mengerti, mengapa di sebuah gedung di negeri ini, yang seharusnya merupakan kompleks yang disucikan (sanctuary) dan bermartabat, harus dikotori peristiwa seperti itu. Mengapa gedung yang seharusnya dimuliakan diinjak-injak. Pengeroyokan dan pembunuhan di ruang sidang? Ini luar biasa.
Kita mengerti karena Kompas sering memuat hasil survei yang menggambarkan ketidakpuasan publik terhadap prestasi pengadilan kita, dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung (MA). Ihwal jual beli perkara dan lainnya tidak lagi terdengar dan mengejutkan banyak orang Indonesia. Tahun 1990-an Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang ingin membersihkan dan mengembalikan martabat MA justru terpental.


Pernah berwibawa
Laporan miring tentang pengadilan kita itu mencapai puncak seiring terbitnya buku Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse” (2005). Simpulan Pompe, pertama, keberanian telah merosot menjadi sikap pengecut (cowardice). Kedua, kemampuan menjadi ketidakmampuan (incompetence). Ketiga, integritas menjadi korupsi struktural. Keempat, penghormatan merosot menjadi pelecehan (contempt). Memang amat menyakitkan, tetapi Pompe berbicara berdasar data yang keras.
Jika dikatakan sebagai kemerosotan, maka setidaknya di masa lalu republik ini pernah memiliki MA dan hakim-hakim agung yang berani, mampu, penuh integritas, dan berwibawa. Pompe dengan jujur menyebut sejumlah nama ketua MA yang berwibawa dan bersih (squeakly clean), seperti Kusumah Atmadja dan Soebekti. Begitu berani dan berwibawa dalam menjunjung martabat MA, sehingga dalam suatu jamuan negara Ketua MA Kusumah Atmadja pernah marah-marah karena tidak mendapat tempat duduk terhormat di samping Presiden. Ancam-mengancam antara Kusumah Atmadja dan Presiden Soekarno sering terjadi, demi menjaga wibawa dan martabat MA.
Menggunakan teori kepolisian bernama Broken Window sebagai referensi, pengadilan sudah sejak beberapa lama rusak tanpa ada hasil perbaikan berarti. Teori itu mengatakan, manakala jendela rumah pecah dan tidak kunjung diperbaiki, itu merupakan isyarat, wilayah permukiman itu sudah menunjukkan tanda-tanda menuju keambrukan. Lama-lama ia akan menjadi daya tarik bagi orang-orang tidak baik untuk mangkal sehingga akhirnya benar-benar menjadi sarang kejahatan. Polisi sudah harus segera masuk manakala baru melihat ada jendela-jendela pecah tanpa perawatan, sebelum tempat itu benar-benar menjadi sarang penjahat. Teori itu mungkin juga dapat menjelaskan mengapa aksi berbau mafia itu sudah dimulai dari tempat parkir pengadilan.
Memang, kita tak boleh begitu saja menuding ”ada apa dengan pengadilan?”, tetapi lebih daripada itu juga perlu bertanya ”ada apa dengan bangsa kita?”
Saya melihat adanya kaitan antara demokratisasi dan kemerosotan wibawa pengadilan. Demokratisasi, keterbukaan, akuntabilitas yang digenjot sejak reformasi 1998 telah banyak menampilkan wajah baru Indonesia. Meski demikian, ia juga menimbulkan banyak situasi kekerasan dan kebebasan nyaris tanpa batas dan lain-lain. Orang Indonesia sedang menikmati rasanya bebas, sesudah puluhan tahun ditekan. Semua menjadi bebas untuk dilakukan. Wilayah pengadilan yang seharusnya memberikan kesan angker tidak lagi mempan untuk menjauhkan demonstran dan simpatisan masuk dan menginjak-injak rumah keadilan.


Tambang emas
Kita teringat buku Ortega y Gasset, La Rebelion de las Masas (1930), yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, The Revolt of the Masses, De opstand der horden. Saya pernah bertanya, apakah ini demokrasi atau bangkitnya para preman? (”Demokrasi atau Bangkitnya ’Preman’”? Kompas, 4/5/2005). Pemandangan yang sekarang banyak terlihat di pengadilan sepertinya menampilkan kembali potret Eropa yang diambil Ortega pada dekade awal abad kedua puluh itu.
Sudah sejak lama penghormatan bangsa terhadap para hakim cukup rendah, apalagi kini pengadilan kian banyak mempertontonkan sisi yang memancing rasa tidak hormat. Advokat almarhum Yap Thiam Hien pernah mengeluh, mengapa kita begitu siap menghormati para menteri, bahkan para direktur jenderal, daripada para hakim, termasuk hakim agung? Mengapa dalam berbagai pertemuan, kita gatal untuk berdiri jika ada pembesar pemerintahan masuk dan menganggap hakim yang lewat seperti angin lalu?
Dewasa ini, atmosfer lingkungan atau masyarakat yang banyak korup menambah runyam pengadilan. Bagi mereka yang berniat jahat, pengadilan telah menjadi tambang emas yang menggiurkan.
Potret pengadilan kita memang sedang buruk, tetapi itulah potret kehidupan bangsa kita. Dibutuhkan tidak hanya masuknya pasukan profesional untuk mengubah dunia pengadilan, tetapi terutama para pejuang (vigilantes) yang berani dan memiliki gereget (compassion) untuk memulihkan citra dan wibawa pengadilan.
Kita tidak sedang bermimpi karena, di masa lalu, kita pernah mempunyai orang-orang hebat, bahkan seorang perempuan hakim agung yang cantas, seperti Sri Widoyati Soekito yang berani menolak tekanan Presiden Soekarno untuk mengambil putusan tertentu. Tinggal bagaimana memunculkan mereka dan mendorongnya menjadi kekuatan untuk mengubah pengadilan kita sehingga kembali bersinar dan berwibawa.


Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang