Kamis, 30 Oktober 2008

SENGKETA PILKADA

Sengketa Penghitungan Suara ke MK

Kamis, 30 Oktober 2008 00:51 WIB
Jakarta, kompas - Terhitung sejak 1 November mendatang, hasil penghitungan suara dalam pemilihan kepala daerah tidak lagi ditangani Mahkamah Agung. Wewenang tersebut akan ditangani Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam kaitan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, Rabu (29/10), menandatangani berita acara pengalihan penanganan sengketa tersebut. Hadir dalam acara tersebut jajaran ketua muda MA dan beberapa hakim agung serta hakim konstitusi.

Dalam sambutannya, Bagir mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan sebanyak 98 perkara, yang terdiri dari 74 perkara kasasi dan 24 perkara peninjauan kembali. Jumlah perkara tersebut diselesaikan sepanjang tahun 2005 hingga 2008.

Dari jumlah tersebut, jelas Bagir, hanya empat perkara yang permohonannya dikabulkan MA. Sisanya ditolak. ”Artinya, MA telah mengukuhkan hasil kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini memberikan gambaran bahwa KPU telah bekerja sebagaimana mestinya,” katanya.

Hingga saat serah terima dilakukan, MA masih menangani dua perkara sengketa pilkada. Perkara pertama tinggal menunggu pengucapan putusan, sementara perkara lainnya baru didaftarkan.

MK siap

Sementara itu, Mahfud MD menyatakan, pihaknya sudah siap menangani perkara sengketa. Namun, ia menegaskan MK hanya akan menangani sengketa hasil penghitungan suara. ”Bukan sengketa pilkada, karena itu wilayah hukum pidana. Selesaikan di pengadilan,” katanya.

Menurut Mahfud, MK sudah berpengalaman menangani sengketa hasil penghitungan suara pada Pemilu 2004. Saat itu MK berhasil menyelesaikan sekitar 274 kasus dalam waktu 30 hari.
Selain itu, MK juga sudah menyiapkan perangkat yang akan digunakan, di antaranya video konferensi dan sistem pendaftaran perkara secara terhubung via internet. MK bekerja sama dengan 33 fakultas hukum di universitas negeri yang ada di tiap-tiap provinsi. MK telah mengalokasikan dana Rp 8,25 miliar (Kompas, 23/6).

MK juga sudah mengadakan pelatihan mengenai sistem informasi manajemen perkara kepada pegawainya. (ana)

Kamis, 23 Oktober 2008

ENAM HAKIM AGUNG HASIL SELEKSI

Sulitkah Mencari Hakim Agung?


Kompas, Jumat, 24 Oktober 2008 00:32 WIB

Oleh : Benjamin Mangkoedilaga

Sebanyak enam calon hakim agung terseleksi dari uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) Komisi Yudisial dan Komisi III DPR. Melalui media, diketahui hasilnya pas-pasan dan diperoleh setelah melalui jalan sulit.

Atas hasil itu, tidak perlu heran karena hampir semua pejabat publik yang dihasilkan melalui uji kelayakan dan kepatutan, hasilnya pas-pasan. Itu semua terjadi mungkin karena lembaga yang melaksanakannya juga pas-pasan.

Sulit mencari hakim agung?

Dulu, saat lembaga uji kelayakan dan kepatutan belum dikenal dan diterapkan, kita mampu menghasilkan hakim-hakim agung yang menjadi idola dan panutan para hakim sekarang, seperti Soebekti, Sarjono, Purwoto Gandasubrata, Asikin Kusumaatmadja, Adi Andojo, Bustanul Arifin, Bismar Siregar, Indroharto, Purbowati, dan Widoyati.
Mereka dilahirkan dan berpredikat sebagai hakim agung yang harum, bukan berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan selama dua jam, membuat karya tulis ilmiah, dan tes kesehatan, tetapi berdasarkan rekam jejak selama puluhan tahun sejak mereka berkiprah sebagai hakim selama 30-40 tahun. Jenjang yang mereka lalui pun bertahap, dari hakim tingkat pertama hingga ketua pengadilan tinggi. Seperti menjadi titian karier tetap bahwa jabatan ketua pengadilan tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makassar, dan Medan adalah jabatan yang selangkah lagi menuju hakim agung di Mahkamah Agung.

Kini, keadaannya berubah. Jabatan-jabatan prestisius itu bukan jaminan untuk dapat meraih puncak karier sebagai hakim agung di MA (Ben Suhanda).
Seperti disinggung pada awal tulisan, reformasi telah bergulir, penetapan karier tidak berlaku lagi. Kini, jenjang yang harus dilalui seorang hakim untuk mencapai puncak karier sebagai hakim agung di MA menjadi pertanyaan besar.

Kini posisi hakim agung tidak dapat dicapai dengan dan melalui berbagai putusan maupun penetapan yang dikeluarkan dalam jangka waktu panjang dan terpantau. Juga tidak lagi bisa ditempuh melalui berbagai penugasan ke daerah yang minim fasilitas, tidak pusing memikirkan kontrak rumah, tidak mengurus perpindahan sekolah anak-anak, dan lainnya. Itu semua tidak dialami seorang hakim agung nonkarier.

Soal integritas dan moralitas?

Terus terang tidak semua bersih, tetapi juga tidak semua miring dan kotor. Secara jelas dan transparan, banyak rekan sejawat hakim dan panitera bergelimpangan, mulai ketua pengadilan tinggi, hakim tinggi, ketua pengadilan negeri, dan hakim-hakimnya, mulai dari rekan-rekan sejawat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim tinggi sampai pengadilan tinggi di Jawa Timur. Terasa ngeri untuk berbuat hal-hal yang miring, terutama pada era Agung Mujono menjabat Ketua Mahkamah Agung. Sanksi dilaksanakan secara nyata dan transparan dan dibawa ke pengadilan. Hal ini membuat para hakim risi untuk melakukan hal-hal yang miring meski saat itu belum ada Komisi Yudisial dan lembaga uji kelayakan dan kepatutan.
Penataan karier dilakukan dan dipantau dalam jangka waktu panjang melalui berbagai penetapan dan putusan. Menurut hakim Bismar Siregar, putusan, penetapan, dan pemantauan perilaku itu merupakan mahkota yang disandang setiap hakim. Kini, sulitkah mendapatkan hakim-hakim yang kelak berkualitas, seperti Purwoto Gandasubrata dan Asikin Kusumahadmadja.

Kami mengenal banyak dan tidak sulit menemukan hakim-hakim jujur. Namun, temuan itu akan sulit jika hanya ditentukan dengan aneka persyaratan seperti sekarang, di mana seleksi dilakukan terbuka dengan instrumen seleksi yang ilmiah. Hal ini otomatis membuka kesempatan luas bagi semua orang untuk melamar, termasuk mereka yang sebenarnya hanya mencari pekerjaan atau status (Kompas, 17/10/2008).

Kita tak ingin publik terus dikecewakan dalam seleksi calon hakim agung. Di tengah kondisi MA yang terpuruk, publik berharap enam calon hakim agung itu mampu memberi kontribusi positif terhadap MA. Namun, kita juga bertanya mengapa DPR dan Komisi Yudisial tetap meloloskan calon hakim agung yang dua tahun lagi akan pensiun atau mereka yang justru sedang disorot publik?

Terlepas dari proses seleksi calon hakim agung kali ini, kita berharap DPR berani membongkar status quo penanganan perkara di MA. Revisi UU MA yang sedang dibahas DPR harus mengembalikan fungsi pengawasan hakim agung kepada Komisi Yudisial. DPR harus merekomendasikan diberlakukannya sistem kamar dan spesialisasi penanganan perkara di MA, bukan malah memperjuangkan perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun (Kompas, 17/10/2008).

Sebagai insan yang berlatar belakang hakim selama 35 tahun, saya amat kecewa karena tak satu pun hakim berlatar belakang TUN yang lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Akan dibawa ke mana kamar TUN di Mahkamah Agung. Masuknya para hakim nonkarier justru harus dikembalikan kepada kebutuhan.
Pada masa datang, mungkin apa yang saya kemukakan dapat menjadi sumbangan ke arah posisi MA yang terhormat.
Pertama, jika MA, Ikahi, Komisi Yudisial, dan DPR melaksanakan dialog secara intensif akan kebutuhan formasi hakim agung di Mahkamah Agung.
Kedua, jika Ikahi harus lebih banyak berperan sebagai organisasi perjuangan seperti awal kelahirannya, memperjuangkan cita-cita para hakim karier mencapai posisi puncak di Mahkamah Agung.

Ketiga, dalam rangka revisi UU, posisi dan formasi Komisi Yudisial harus kembali ke posisi awal naskah akademis tentang Komisi Yudisial, di mana minimal dua mantan hakim Agung berposisi sebagai anggota komisi. Ini pun untuk mengurangi resistensi dengan Mahkamah Agung.
Semoga akan lahir Mahkamah Agung yang terhormat dan dihormati.

Benjamin Mangkoedilaga Mantan Hakim Agung; Ketua Bersama Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI Timor Leste; Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI); Dosen FH Trisakti dan BhayangkaraSulitkah Mencari Hakim Agung?

Jumat, 17 Oktober 2008

HASIL SELEKSI HAKIM AGUNG DI DPR

Enam Calon Hakim Agung Baru Terpilih


Kamis, 16 Oktober 2008,

Berdasarkan suara terbanyak dalam penghitungan suara rapat pleno pemilihan hakim agung oleh Komisi III DPR RI, Kamis (16/10), akhirnya terpilihlah enam orang yang akan diangkat menjadi hakim agung baru.

Keenam hakim agung baru itu berdasarkan banyaknya suara yang diperoleh adalah Suwardi (Wakil Ketua PT DKI Jakarta) dengan 44 suara, Takdir Rahmadi (Dekan FH Universitas Andalas) dengan 42 suara, Syamsul Maarif (Ketua KPPU) dengan 38 suara, Andi Abu Ayyub Saleh (Lektor Kepala/Dosen FH Unhas) dengan 33 suarra, Djafni Djamal (Wakil Ketua PT Padang) dengan 27 suara, Mahdi Soroinda Nasution (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pekanbaru) dengan 18 suara.

Ketua Komisi III DPR RI mengaku cukup puas dengan hasil pemilihan karena dari enam yang terpilih, tiga berasal dari jalur karir dan tiga orang juga berasal dari jalur non karir. "Ini yang maksimal yang bisa kita lakukan," ujar Trimedya. Hasil pemilihan akan dibawa Komisi III ke Badan Musyawarah untuk diagendakan pengesahan pada sidang paripurna tanggal 21 mendatang. (Sumber:Kompas)


Selasa, 14 Oktober 2008

PENGUJIAN CALON HAKIM AGUNG

Sistem Voting Diusulkan Diganti Sistem Nilai Seleksi Hakim Agung

<[14/10/08]
Dengan sistem nilai, diyakini hakim agung yang terpilih tidak hanya berkualitas tetapi juga minim nuansa politisnya.
Tidak tersedia banyak waktu bagi anggota Dewan untuk menikmati libur lebaran. Selang seminggu pasca lebaran, Komisi III DPR langsung menggelar uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test calon hakim agung. Total ada 18 calon yang akan mengikuti proses seleksi di Komisi yang mengurusi bidang hukum dan HAM itu. Ke-18 calon tersebut –enam diantaranya dari jalur non karir- adalah hasil seleksi yang dijalankan oleh Komisi Yudisial.

Komisi III mengalokasikan empat hari, mulai tanggal 13 hingga 16 Oktober 2008. Pada hari terakhir nanti, Komisi III rencananya akan langsung menggelar rapat pleno menentukan nama-nama yang lolos sebagai hakim pada Mahkamah Agung (MA).

Sebagai diketahui, formasi hakim agung saat ini banyak yang kosong seiring dengan pensiunnya sejumlah hakim agung. Oktober 2008 ini, misalnya, delapan hakim termasuk Ketua MA Bagir Manan telah memasuki masa pensiun. Persoalan pensiun hakim agung belakangan bahkan sempat mengundang kontroversi bersamaan dengan pembahasan RUU MA di DPR.

18 Calon Hakim Agung
Andi Abu Ayyub Saleh
Muhammad Ramli
Sudarto Radyosuwarno
Andi Ware Pasinringi
Nyoman Serikat Putra Jaya
Sugeng Akhmad Judhi
Djafni Djamal
Rosmala Sitorus
Suwardi
I Gusti Made Antara
Raden Muchtar Panggabean
Rusli Muhammad
Kimar Saragih Siadari
R. O. Barita Siringoringo
Syamsul Ma’arif
Mahdi Soroinda Nasution
Soemarno
Takdir Rahmadi

Hari pertama (13/10), Komisi III menjadwalkan enam calon terdiri dari Andi Abu Ayyub Saleh, Andi Ware Pasinringi, Djafni Djamal, I Gusti Made Antara, Kimar Saragih Siadari, dan Mahdi Soroinda Nasution. Satu per satu calon dihadirkan untuk menjawab sejumlah pertanyaan dari anggota Komisi III. Pertanyaan berkisar dari yang teknis peradilan sampai non teknis.

Dari sekian pertanyaan, polemik kewenangan KY dan MA sepertinya menjadi topik paling populer.Anggota Komisi III Yudho Paripurna, misalnya, meminta pendapat para calon terkait polemik kedua lembaga bertetangga tersebut. Sementara, Gayus Lumbuun menanyakan bagaimana sebaiknya format pengawasan yang dijalankan KY terhadap perilaku hakim-hakim “nakal”.

Calon hakim agung Andi Abu Ayyub Saleh menjawab, KY dan MA seharusnya tidak berseteru. Kedua lembaga, lanjut Andi, semestinya berjalan beriringan menjalankan fungsi dan tugas sesuai koridor masing-masing. Ia menyatakan pengawasan eksternal yang dijalankan oleh KY tetap diperlukan. Namun, pelaksanaannya tetap harus disertai dengan komitmen dan integritas para punggawa KY.

“Untuk itu, KY seharusnya diberikan gigi dan kebesaran untuk bisa menindaklanjuti hakim-hakim yang terbukti melanggar kode etiknya,” ujar dosen pada Universitas Hasanuddin.

Calon lain, Djafni Djamal menegaskan bahwa perlu ada pemisahan lingkup pengawasan yang jelas. Ketua Pengadilan Tinggi Mataram ini berpendapat KY hanya bisa mengawasi perilaku hakim. Sementara, materi putusan tetap menjadi domain MA.

Pilih enam
Di luar jalannya fit and proper test, Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan menjelaskan bagaimana nanti mekanisme penentuan nama-nama calon yang lolos. Sebagai fit and proper test lainnya, Komisi III rencananya akan menggelar pemungutan suara (voting) pada hari terakhir melalui rapat pleno. Syaratnya, rapat pleno tersebut dihadiri oleh lebih dari setengah jumlah total anggota komisi III, 49 orang.

“Artinya jika tidak mencukupi jumlah anggota yang setengah, pleno belum bisa dilakukan,” tukas Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini. Melalui voting, Komisi III rencananya akan memilih enam yang memperoleh suara terbanyak.

Soal mekanisme pemilihan, Anggota Komisi III M. Nasir Djamil menyuarakan pendapat berbeda. Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera ini memandang sudah saatnya meninggalkan sistem voting. Ia mengusulkan agar diberlakukan sistem nilai yang standarnya ditetapkan terlebih dahulu. Gagasan ini, menurut Nasir, juga didukung oleh anggota Komisi III lainnya.

“Voting cenderung menjadi pemilihan politis, dan ini yang dikeluhkan sejumlah anggota,” dalihnya. Dengan sistem nilai, Nasir yakin hakim agung yang terpilih tidak hanya berkualitas tetapi juga minim nuansa politisnya.
(CRF)/Hukumonline.com

SELEKSI HAKIM AGUNG


Komisi Hukum Prioritaskan Calon Hakim Agung dari Karier

Selasa, 14 Oktober 2008 18:58 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Trimedya Panjaitan mengatakan komisi akan memprioritaskan calon hakim agung dari hakim karier. "Hakim karier punya pengalaman dalam penanganan kasus, dia sudah 'ngelotok' dan menjiwai menjadi hakim," ujar Trimedya di sela-sela Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Hakim Agung di Gedung MPR/DPR, Selasa (14/10).
Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Hakim Agung diikuti 18 hakim yang terdiri dari 12 hakim karier dan enam hakim non karier. Komisi akan memilih enam hakim sebagai hakim agung. Trimedya mengatakan pihaknya tetap membuka kemungkinan terpilihnya hakim non karier. Namun, kata dia, hakim non karier membutuhkan waktu yang lebih lebih lama untuk belajar menjadi hakim. "Posisi hakim agung menjadi impian karier bagi hakim karier," katanya. Trimedya menambahkan perlu adanya kuota tertentu dalam sistem kamar-kamar. Hal itu bisa dilakukan dengan pembagian dalam hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, hakim Pengadilan Agama dan hakim Pengadilan Umum. "Hal itu untuk menghindari penumpukan kasus di Mahkamah Agung," katanya. Komisi Hukum, kata Trimedya, akan memikirkan para calon itu untuk mengisi pengadilan umum. "Kami akan memberikan jatah yang lebih banyak mengisi pengadilan umum," katanya. Hal itu didasari kebutuhan dan penyelesaian di pengadilan umum lebih besar.
Dia mengakui dari hakim karier yang mengikuti uji ini lebih banyak dari pengadilan umum. "Hanya empat dari Tata Usaha Negara, hakim agama mungkin bisa diwakili dari non karier," katanya. Namun, lanjut dia, komisi tetap akan memperhatikan umur, kapasitas, dan integritas. "Hal itu tetap diperhatikan," katanya. Beberapa poin itu, kata Trimedya, diharapkan bisa membenahi Mahkamah Agung. Dia mengakui MA belum optimal menjadi lembaga yudikatif. "Namun itu dimaklumi karena pembenahan di Mahkamah baru dimulai sejak tiga tahun yang lalu," katanya. Dalam uji itu, Komisi lebih banyak menyoroti penumpukan perkara.
Anggota Komisi Hukum DPR Fraksi Partai Bintang Reformasi Nursyamsi Nurlan mengatakan banyaknya penumpukan kasus di Mahkamah perlu diatasi. "Perlu ada strategi agar tidak lagi ada penumpukan perkara," katanya. Calon Hakim Agung Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan telah menyiapkan langkah khusus mengatasi hal itu. "Nanti akan diaktifkan kembali asisten hakim untuk membantu penyelesaian perkara," katanya. Eko Ari Wibowo

Senin, 13 Oktober 2008

PEMBATASAN KASASI TUN


PEMBATASAN KASASI DI MA TIDAK MELANGGAR KONSTITUSI

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur mengenai pembatasan kasasi “Terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan” tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

“Oleh karena itu, dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidaklah beralasan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak,” ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie, saat membacakan putusan perkara no. 23/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) pada sidang pleno MK, Senin (14/1) siang.

MK berpendapat bahwa pembatasan terhadap perkara yang layak untuk dimohonkan kasasi merupakan praktik yang lazim di negara-negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. MK juga berpendapat pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris.

Pemohon Hendriansyah yang merupakan direktur CV. Sungai Bendera Jaya yang bergerak dibidang pengelolaan sarang burung walet asal Kab. Kutai Timur, menganggap Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA yang mengatur pembatasan perkara yang dapat dikasasi ke MA bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 24 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) serta Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mencabut, membatasi, dan menghilangkan hak Pemohon untuk mengajukan kasasi terhadap dua putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 60/B/2007/PT.TUN.JKT., tanggal 28 Juni 2007 dan Nomor 59/B/2007/PT. TUN.JKT., tanggal 28 Juni 2007. Ketentuan pasal a quo oleh Pemohon juga dianggap diskriminatif, karena hanya membatasi kasasi perkara TUN yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah, sedangkan terhadap perkara TUN yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat pusat tidak dibatasi kasasinya.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, apabila dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, MK berpendapat permohonan Pemohon tidak ada sangkut-pautnya dengan hak atas perlakuan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang menyangkut hak atas perlakuan yang sama dalam pemerintahan, dalil Pemohon tidaklah beralasan. Sementara itu, menyangkut persoalan apakah ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum terhadap Pemohon, menurut MK, dalil demikian baru dapat diterima apabila terdapat pihak lain yang mempunyai kualifikasi yang sama dengan Pemohon tetapi memperoleh perlakuan yang berbeda sebagai akibat diberlakukannya Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA, hal mana telah ternyata tidak terbukti. Kalaupun terdapat peristiwa yang serupa dengan yang dialami Pemohon namun peristiwa dimaksud terjadi sebelum dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, hal demikian bukanlah merupakan bukti perlakuan tidak sama di hadapan hukum melainkan sebagai konsekuensi dari adanya perubahan undang-undang.

Sedangkan menyangkut pertanyaan apakah Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA telah melahirkan perlakuan yang bersifat diskriminatif, berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, apa yang dialami oleh Pemohon, MK berpandangan hal tersebut tidaklah termasuk dalam pengertian diskriminasi. Benar bahwa Pemohon telah mengalami perlakuan yang berbeda namun perlakuan yang berbeda itu bukanlah lahir karena adanya norma undang-undang yang bersifat diskriminatif melainkan karena adanya perubahan perundang-undangan.

Lebih lanjut MK berpendapat, dilihat dari sudut pandang harmonisasi horizontal antar-peraturan perundang-undangan, dalam hal ini antara UU MA dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004), pembatasan demikian pun dapat diterima. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 22-nya dinyatakan, “Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”.

Selain itu, jikapun dalam putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon masih dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung yang berwenang memperbaiki kekeliruan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan demikian diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”. [ardli] -Sumber: MahkamahKonstitusi

SALAH SATU PEMBAHARUAN PERADILAN

Pusdiklat Bagian dari Upaya Pembaharuan Peradilan”

Megamendung badilag.net (13/10)

PEMBANGUNAN gedung Pusdiklat merupakan bagian dari upaya pembaharuan peradilan. Dari gedung inilah sumber daya manusia baik hakim maupun non hakim ditempa sehingga memiliki kapasitas, moralitas, dan integritas yang tinggi.Demikian disampaikan Ketua MA Bagir Manan pada saat meresmikan penggunaan gedung Pusdiklat Mahkamah Agung di Megamendung, Bogor, Senin (13/10). Berbicara mengenai pembaruan peradilan ini, Ketua MA menyatakan bahwa tidak ada istilah prioritas pembaruan peradilan. Karena masing-masing elemen memiliki saling keterkaitan, baik itu sarana, SDM, manajemen perkara ataupun yang lainnya. “Pembaruan peradilan harus dilakukan secara serentak”, ungkap Bagir Manan.

Sehubungan dengan itu, kata Bagir, pembangunan gedung Pusdiklat menjadi prioritas yang beriringan dengan pembaruan aspek lainnya. Menurutnya, peradilan sangat memerlukan kehadiran pusat pendidikan dan pelatihan. Alasannya adalah karena pengadilan membutuhkan sumber daya manusia yang siap pakai. Siap pakai, kata Bagir Manan, berarti menguasai ilmu, memiliki intelektualitas, memiliki wawasan luas dan mempunyai karakter positif. Pengadilan juga memerlukan aparatur peradilan, khususnya hakim, yang terampil. ”Kita butuh hakim yang mampu menyelesaikan perkara”, ujar Bagir Manan menjelaskan makna terampil dalam konteks penyelenggaraan peradilan. Alasan lainnya, pengadilan memerlukan aparat yang memiliki profesionalitas. “Aparat yang profesional adalah aparat yang memiliki disiplin tinggi dan menjunjung etika profesi”, tandasnya. Disamping itu, lanjut Bagir Manan, pengadilan pun memerlukan aparat yang memiliki jiwa leadership.

Dirjen Badilag bersama dengan rombongan pejabat di MA memasuki area upacara peresmian gedung PusdiklatSasaran PusdiklatYang menjadi sasaran Pusdiklat, menurut Bagir Manan, adalah calon hakim, hakim, pejabat kepaniteraan , dan pejabat non kepaniteraan. Bagi para Cakim, di Pusdiklat ini, kata Bagir Manan, akan diberikan keterempilan memecahkan masalah hukum, mengelola administrasi peradilan, menyelesaikan perkara, menumbuhkan kepribadian dan profesionalisme, serta disipilin. Sedangkan bagi hakim , menurut Bagir, Pusdiklat akan meningkatkan kafasitas keilmuan dan keterampilan, meningkatkan wawasan, tanggungjawab, dan leadership.Bagir pun menegaskan bahwa ada keterkaitan antara Hakim dan Calon Hakim. “Keterkaitan itu adalah hakim yang senior harus menjadi teladan bagi para cakim”, tegas Bagir Manan.

MA Putus 1000 perkara tiap bulan. Upaya pembaruan lain yang sangat signifikan dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah mengurangi penumpukan perkara. “Kini, MA memutus rata-rata 1000 perkara tiap bulannya”, tegas Ketua MA. Bagir Manan mengilustrasikan bahwa ketika dirinya masuk ke MA di tahun 2001, di MA ada sekitar 30.000 tunggakan perkara, belum termasuk perkara baru yang diterima tahun itu. Pada tahun 2008, tunggakan perkara di MA hanya berjumlah 8000 perkara. “ ini sudah termasuk perkara yang masuk tahun ini”, kata Ketua MA.
Ketua MA, bahkan membuat target di tahun 2009, tidak ada perkara yang ditangani lebih dari dua tahun.Ketua MA menyesalkan beberapa komentar yang menyebut MA masih memiliki tunggakan puluhan ribu perkara. Hal itu sangat menyesatkan rakyat banyak. Oleh karena itu Ketua MA meminta siapapun untuk selalu tabayyun (re-check, konfirmasi, red) terhadap informasi yang diterimanya, supaya terhindari dari dusta yang menyesatkan. “Tabayyun ini adalah kewajiban agama”, ungkapnya memberi penegasan.
Ketua MA akrab berbincang dengan Sebastian Pompe, pengamat hukum Indonesia berkebangsaan Belanda sekaligus penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of Institusional Collapse, saat Ketua MA meninjau bangunan Pusdiklat, sesaat sebelum acara peresmian dimulai.

Peresmian BersejarahPeresmian gedung Pusdiklat yang berdiri diatas lahan 5,1 ha di kawasan Megamendung Bogor ini, bisa dikatakan “peresmian bersejarah”. Dikatakan demikian, disamping kemegahan bangunan yang berdiri di hamparan tanah yang begitu luas, seremonial peresmiannnya pun dihadiri oleh hampir seluruh pimpinan MA, para hakim agung dan pejabat eselon I dan II di MA.
Disamping itu peresmian gedung Pusdiklat ini juga dihadiri oleh sejumlah perwakilan negara donor, dan yang istimewa peresmian yang bisa dikatakan peresmian terbesar selama sejarah MA ini disaksikan oleh 500 calon hakim yang akan mengikuti diklat di gedung ini.Aspek kesejarahan lainnya, menurut pemantauan badilag.net adalah lengkapnya fasilitas di komplek pusdiklat ini. “Setelah sekian lama menjadi mimpi, kini MA memiliki Pusdiklat yang mempunyai fasilitas gedung kantor, tempat diklat, perpustakaan, laboratorium, asrama, gedung sebaguna, sarana ibadah, mes pegawai, rumah dinas, rumah peristirahatan, dan fasilitas lainnya “, ungkap Kepala BUA, Subagyo, SH, MH, saat menyampaikan laporan kepada ketua MA.

Berdasarkan booklet yang diterbitkan Biro Umum MA, deskripsi bangunan yang ada di area Pusdiklat MA Megamendung ini adalah sebagai berikut :
NO. PERUNTUKAN GEDUNG - LUAS/LANTAI
1 Gedung Kantor Pusdklat 2.290. 87 m2/ 3 lantai
2 Gedung Diklat 3.764, 86 m2/ 3 lantai
3 Gedung Serbaguna 1.128,37 m2/ 3 lantai
4 Gedung Perpustakaan 610,34 m2/ 2 lantai
5 Gedung laporatorium 944,71 m2/ 2 lantai
6 Gedung Asrama A 831,9 m2/ 3 lantai 5 unit
7 Gedung Asrama B1 4,258,75 m2/ 3 lantai
8 Gedung Asrama B2 4.321,89 m2/3 lantai
9 Gedung Asrama C 5.267,58 m2/ 3 lantai
10 Gedung Transit 158,34 m2/ 1 lantai
11 Mess Pegawai 820,68 m2
12 Rumah Dinas Esselon 1 250 m2
13 Rumah Dinas Esselon 2 360 m2
14 Rumah Dinas Esselon 3 630 m2
15 Rumah Persitirahatan Pimpinan 1.440 m2
16 Mesjid 832,15 m2/ 2 lantai
17 Peribadatan non muslim 80 m2
18 Lapangan olah raga/sarana umum lainya


Dimuat oleh Asep Nursobah
Monday, 13 October 2008

PELANTIKAN GUBERNUR


Gafur Gugat Pemerintah ke PTUN

JAKARTA - Pelantikan Gubernur Maluku Utara Thayb Armain-Ghani Kasuba membuat kubu yang kalah tak terima. Setelah Partai Amanat Nasional berencana menggugat melalui Mahkamah Konstitusi, kemarin (9/10) giliran pasangan mantan calon gubernur-wakil gubernur Maluku Utara (Malut), Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo, akan mengajukan gugatan ke PTUN. Kubu yang kalah itu didukung Golkar dan PAN.

Subjek hukum yang digugat adalah Keppres No 85/P Tahun 2008 tentang Pengesahan Pengangkatan Thaib Armayn-Gani Kasuba. Karena terkait kebijakan pemerintah, gugatan akan dilayangkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Selain itu, pihaknya akan mengajukan gugatan ke MK.
Abdul Gafur menilai keppres pengangkatan gubernur Malut cacat hukum. Alasannya, hasil penghitungan suara yang dijadikan dasar untuk memenangkan pasangan Thayb Armain-Ghani Kasuba seharusnya batal demi hukum. "Klausul menimbang (pada putusan MA, Red) tidak berdasarkan atas fakta-fakta hukum yang komprehensif," kata Abdul Ghafur saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (9/10).Mantan Menpora di era Orde Baru itu mengatakan, argumentasi Mendagri bahwa Mahkamah Agung (MA) adalah pihak yang berwenang menilai masalah pilkada Malut serta menentukan pemenangnya merupakan kesalahan.
Menurut dia, satu-satunya institusi yang berhak menentukan pemenang pilkada adalah KPU. ''Dalam UU jelas. KPU merupakan penyelenggara Pemilu,'' tambahnya. Menurut Gafur, fatwa MA yang berkali-kali diminta Mendagri tidak dapat dijadikan dasar dalam memutus sengketa pilkada Malut. "Kalau fatwa MA dijadikan dasar memutus sengketa pilkada, kami ingin Mendagri secara jujur membeberkan berapa banyak fatwa dalam sengketa pilkada yang dijadikan dasar untuk memenangkan atau mengalahkan pasangan calon dalam pilkada di Indonesia," ujarnya.(cak)

PERESMIAN GEDUNG DIKLAT MARI

GEDUNG DIKLAT MA DIRESMIKAN

Untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas dan professional yang baik bagi para Hakim, Panitera, Panitera Pengganti, Jurusita, Pejabat Struktural dan Staff, diperlukan suatu gedung pusat pendidikan dan latihan yang modern, efektif dan efisien dalam suatu bangunan yang berada dalam satu lokasi, ujar Kepala Badan Diklat Litbang Mahkamah Agung, Anwar Usman, hari ini (13/10) sesaat sebelum acara peresmian gedung Pusdiklat Litbang Mahkamah Agung berlangsung.

Masih menurut Anwar, gedung Pusdiklat yang baru ini diharapkan akan menjadi pusat kegiatan, pengelolaan dan pendidikan/latihan bagi para peserta dari seluruh Indonesia serta menjadi contoh bagi bangunan dan tata ruang disekitarnya. Dan diharapkan, gedung diklat tiap tahun diharapkan dapat menyelenggarakan diklat yang diikuti kurang lebih 4000 orang pertahun, ujarnya.

Anwar juga menjelaskan, lambing dari “sculpture” Pusdiklat yang terdiri dari bentuk lingkaran merupakan bentuk netral dan memusat, yang melambnagkan pusat kegiatan Pusdiklat, tugu yang berjumlah 4 melambangkan pena dan pilar, penopang sistem empat lingkungan peradilan di Indonesia, ornament stainless steel yang merupakan abstraksi dari bguku dalam posisi terbuka yang melambangkan semangat untuk terus belajar dan menggali ilmu, sedangkan air yang selalu mengalir dibawah melambangkan sumber ilmu pengetahuan yang selalu mengalir dan selalu harus dipelajari, ungkapnya.

Peresmian gedung Pusdiklat Mahkamah Agung yang terletak di Desa Sukamaju, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor ini, diawali laporan Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkmah Agung, Subagyo, yang menyampaikan bahwa pembangunan gedung Pudiklat MA dari Tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 yang dilakukan secara per paket/tahap telah menelan biaya sebesar Rp. 166.509.596.616,- (sertaus enam puluh milyar lima ratus Sembilan juta lima ratus Sembilan puluh enam ratus enam belas rupiah). Subagyo juga mengucapkan terima kasih kepada BRR yang telah menyerahkan Balai diklat Peradilan di Banda Aceh.

Gedung Pusdiklat Mahkamah Agung yang diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, dilakukan dengan penekanan tombol sirine dan menandatangani prasasti berlangsung secara khidmat. Selain itu juga menandatangani prasasti peresmian Balai Diklat Peradilan Aceh.(jup/Humas)

Sabtu, 11 Oktober 2008

IPTN

Sabtu, 31 Agustus 1996
Melani, SH: Apakah Dunia Ini Sudah Terbalik?
Alasan Pemecatan Asep Sangat Mengherankan

BANDUNG, (PR).- Alasan Direktur Umum IPTN memecat Asep Rukmana sangat mengherankan. Karena tindakan Asep yang ingin menuntaskan kasus korupsi di PT IPTN, ternyata dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan perilaku wajar. "Apakah dunia ini sudah terbalik? Siapa sebenarnya yang berperilaku tidak wajar?" ujar Direktur LBH Bandung Ny.Melani, SH yang menjadi salah satu kuasa hukum Asep Rukmana. Pernyataan itu disampaikan pada replik yang dibacakan dalam sidang lanjutan perkara gugatan Asep terhadap Direktur Umum PT IPTN di Pegadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Kamis (30/8).
Dalam persidangan tersebut pihak penggugat diwakili kuasa hukumnya, Ny. Melani, SH dan Ida Rosida, SH. Sedangkan tergugat diwakili Didin Suryana, SH, Nurjaman Effendi, SH dan Drs. Mulyana WS. Seperti diberitakan sebelumnya Asep Rukmana menggugat Direktur Umum PT IPTN, yang memecatnya tanpa alasan jelas. Namun dalam jawabannya yang dibacakan pada persidangan minggu lalu, Direktur Umum PT IPTN antara lain menyatakan Asep Rukmana "terpaksa" diberhentikan dengan tidak hormat karena dinilai melanggar disiplin.
Tindakan Asep mengirimkan surat berkali-kali kepada Direktur Fasilitas, Direktur Utama dengan tembusan kepada instansi di lingkungan maupun di luar IPTN, dinilai sebagai tindakan yang bertentangan dengan perilaku umum. Asep juga dianggap mengabaikan fungsi dan kredibilitas pejabat, serta unit-unit organisasi di PT IPTN. Padahal, menurut kuasa hukum Asep dalam repliknya, tindakan Asep sangat wajar, bahkan sangat baik karena bisa dikategorikan sebagai pengawasan melekat. Malahan semula Asep hanya mengirim surat kepada pihak di lingkunngan PT IPTN. Namun karena tidak mendapat tanggapan, akhirnya Asep mengirimkan tembusan suratnya ke berbagai pihak. "Jadi, tidak benar dalil tergugat yang menyatakan PT IPTN telah menindaklanjuti temuan BPKP. Karena yang menindaklanjuti hasil pemeriksaan khusus BPKP Jabar adalah BPKP Pusat," tutur kuasa hukum Asep.
Tindak lanjut yang dilakukan BPKP pusat adalah mengirimkan surat kepada Ketua Badan Pengelola Industri Strategis, yang juga Dirut PT IPTN, tertanggal 20 April 1995. Surat tersebut pada pokoknya mmenyebutkan, dari pemeriksaan khusus diketahui adanya penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 372.276.845,00. Ir. GS selaku Kepala Perencana dan Anggaran Fasilitas/Sekretaris Lelang, termasuk salah satu pejabat yang harus bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut. Anehnya, sanksi disiplin tidak pernah diberikan kepada Ir. GS. Malahan sejak diketahui adanya penyimpangan, Ir. GS telah dua kali naik pangkat. "Pangkat terakhirnya sangat luar biasa, yakni sebagai Asisten Direktur Umum Bidang Fasilitas," paparnya. Tindakan Asep, tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin, karena tidak termasuk dalam pelanggaran yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1979 dan peraturan IPTN sendiri. Yakni Nomor: Kep/003/DU/IPTN/V/86. Dengan demikian, SK pemecatan Asep yang dikeluarkan Direktur Umum PT IPTN, merupakan penyalahgunaan wewenang.
Kuasa Hukum Asep juga berpendapat, PTUN Bandung berwenang mengadili perkara tersebut, karena PT IPTN merupakan Badan Usaha Milik Negara dan karyawannya berstatus pegawai negeri. Sehingga keputusan tergugat merupakan keputusan tata usaha negara. "Lagi pula jika PTUN tidak berwenang mengadili, maka gugatan Asep sudah dinyatakan tidak dapat diterima, sebelum sidang terbuka untuk umum," jelas mereka. Majelis Hakim PTUN Bandung yang terdiri atas Trimurti Supijoto, SH, M. Arief Nurdu'a, SH dan Yodi Martono W., SH menunda persidangan selama sepekan untuk mendengarkan duplik dari tergugat.---------------------------------***

KEPEGAWAIAN

Sunday, April 09, 2006

Bupati Nisel Janji Laksanakan Putusan PTUN Medan yang Batalkan Pemutasian Pejabat

Bupati Nias Selatan Fahuwusa Laia SH MH mengatakan, pihaknya mematuhi putusan PTUN Medan dan akan melaksanakannya sesuai prosedur. “Soal pengembalian jabatan dan orang dimaksud dalam putusan tersebut, kita tunggu proses dan penggodokannya,” tandasnya usai mengikuti Pembukaan PRSU ke-35 yang dilakukan Gubsu Rudolf Pardede, Jumat (7/4) di Medan.

Sebagaimana diketahui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan melalui putusannya ––setelah sidang yang diketuai H Yodi Martono SH MH, Kamis (6/4)–– membatalkan SK Bupati Nias Selatan (saat itu dijabat Edy Aman Saragih) dan mengembalikan posisi Kadisdiknas Nias Selatan pada Huku Asa Ndruru berikut posisi dan jabatan sejumlah penggugat lainnya yakni Alamind Sarumaha (KTU Bawasda), Megawati Laia (KTU Dinas Kesehatan), Aladin Buulolo (KTU Dinas Kimpraswil), Dra Magdalena Bago SPd (Kasi Kurikulum/Sarana Dinas Pendidikan), Pikiran Nehe (Kacabdis Pendidkan Teluk Dalam) dan Erwinus Laia SSos (Kasi Kessos).
Bupati Nias Selatan Fahuwusa Laia SH MH mengatakan, pihaknya baru tahu dari pemberitaan koran dan belum menerima resmi putusan tersebut. “Ya, saya sudah tahu tapi belum ada putusan (salinan putusan atau tembusannya). Semua punya proses, kan,” tandasnya sesaat hendak meninggalkan Paviliun Nias Selatan di PRSU.

Sebagaimana diketahui, Pj Bupati Bias Selatan Edy Aman Saragih tertanggal 05 Desember 2005 mengeluarkan SK No 824.4/253/KP/2005 tentang Pengangkatan Pejabat Struktural Eselon III dan IV di lingkungan Pemkab Nias Selatan. Putusan tersebut mendatangkan keberatan dari nama-nama yang ditetapkan, juga mendapatkan penilaian miring dari Sekdakab Nias Selatan F Halawa SH yang ––melalui surat tertanggal Telukdalam, 9 Februari 2006 kepada Mendagri di Jakarta dan Gubsu di Medan–– menilai pemutasian tidak berdasar sehubungan nama-nama dimaksud selama menjadi pejabat di tempat yang dimaksud menunjukkan kinerja terbaik dan tidak pernah melanggar hal-hal yang diwajibkan bagi seorang pejabat di tempat dimaksud.
Menyusul keberatan, mereka yang dicopot mengajukan gugatan terhadap Bupati Nias Selatan pada tanggal 26 Desember 2005 dalam perkara No 96/G.TUN/2005/PTUN-Mdn. Melalui sidangnya, majelis hakim H Yodi Martono SH MH sebagai Hakim Ketua, Elisabeth SH dan Agus Budi Susilo SH MH sebagai anggota menetapkan hal tersebut. Sementara itu sejumlah nama lain yang juga melakukan gugatan melalui perkara No 99/G.TUN/2005/PTUN-Mdn dengan majelis hakim H Yodi Martono sebagai Hakim Ketua, Wences Lawes SH dan Dra M Uli Saragih SH sebagai hakim anggota di hari yang sama juga membatalkan SK Bupati Nias Selatan. Menyusul pembatalan, PTUN Medan menghukum Bupati Nias Selatan untuk mencabut keputusan dimaksud.

Di tempat yang sama, usai mendampingi Bupati Nias Selatan Fahuwusa Laia SH MH, Ketua DPRD Nias Selatan Hadirat Manao mengatakan pihaknya optimis dan meyakini kualitas kepemimpinan Bupati yang taat asas dan menjadi teladan di bidang penegakan hukum dan disiplin administari. “Saya optimis itu. Bukankah Pak Bupati seorang profesional di bidang penegakan hukum, tapi harap diketaui, pemutasian yang kemudian berujung di PTUN Medan adalah kebijakan pendahulunya, Pj Bupati Nias Selatan Edy Aman Saragih” tandasnya.
Fahuwusa Laia SH MH sebelum menjadi Bupati Nias Selatan melalui pemilihan langsung dan demokratis yang pertama digelar adalah Kepala Kejaksaan Negeri Pekanbaru. “Pola kepemimpinan Bapak Bupati merupakan angin segar menuju yang terbaik,” tandas Hadirat Manao. (a6/v)

Sumber: hariansib online, Minggu, 9 April 2006

Jumat, 10 Oktober 2008

PENGURUS IKADIN

PENGURUS IKADIN MEDAN AUDENSI KEPADA KAPOLTABES MS dan PTUN MEDAN


Pengurus DPC Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Medan Periode 2007-2011 beraudensi ke Poltabes Medan, Rabu (19/9). Selain memperkenalkan kepengurusan Ikadin Medan yang baru dilantik ketua Umum DPP Ikadin Dr Otto Hasibuan SH MM pertengahan Agustus 2007 lalu, kedatangan mereka juga menyampaikan berbagai program Ikadin Medan ke depan.Para pengurus Ikadin Medan yang terdiri dari Ketua Burhan Sidabariba SH MH, Sekretaris Suhamzah Ginting SH MBA, Wakil Ketua OK Iskandar SH, Wakil Sekretaris Boni Sianipar SH MHum, ketua Dewan Kehormatan Chalid Yakub SH dan Ketua Dewan Penasehat Aswin Perangin-angin SH MA diterima Kapoltabes MS Kombes Pol Drs Bambang Sukamto SH MH diwakili Wakapoltabes AKBP Drs Yasdan Rivai didampingi Kabag Ops Kompol Suprayitno, Kasat Intel Kompol Erwin dan Wakasat Reskrim AKP J Barus SH.
Ketua Ikadin Medan Burhan Sidabariba didampingi Sekretaris Suhamzah Ginting menjelaskan, dalam pertemuan itu disamakan persepsi tentang 4 pilar penegak hukum yakni Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian dan Advokat.Selain itu disepakati juga berbagai program yang akan dilaksanakan bersama-sama antara lain melakukan penyuluhan hukum masyarakat di Sumut dan Kota Medan. Kedua belah pihak akan saling membantu dalam proses peningkatan kesadaran hukum masyarakat dengan menyelenggarakan seminar/pelatihan dengan nara sumber dari Mapoltabes dan Ikadin Medan.
Sebelumnya, Senin (17/9), pengurus Ikadin Medan terdiri dari Burhan Sidabariba, Suhamzah Ginting, Wakil Ketua Kasmin Sidauruk SH dan Firman Azuar Lubis SH, Wakil Sekretaris Maya Manurung SH dan Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat dan Sosial Nur Alamsyah SH beraudensi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Mereka diterima Ketua PTUN Medan Yodi SH MHum dan Panitera/Sekretaris Armen Simamora SH. (Rel/M-14/d).

Selasa, 07 Oktober 2008

RUU AP

RUU Administrasi Pemerintahan Perluas Kewenangan PTUN

[14/8/08]
“Tapi jangan sembarangan. Jangan masuk-masukin yang nggak karuan. Emangnya TUN tong sampah”.


Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) awal Agustus lalu, Mahkamah Agung ikut mensosialisasikan RUU Administrasi Pemerintahan (AP) kepada kalangan hakim dan petugas pengadilan. RUU ini dianggap penting karena berkaitan langsung dengan peradilan tata usaha negara. Pada Juli lalu, keberadaan RUU ini juga sudah disinggung dalam sidang kabinet.

“RUU ini mengatur perlindungan hukum atas sikap tindak AP melalui upaya administratif dan atau melalui gugatan di Pengadilan Administrasi Negara/PTUN,” papar Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendie Lotulung, dalam makalah yang disampaikan pada Rakernas tersebut.

Salah satu poin penting dari RUU Administrasi Pemerintah adalah perluasan yurisdiksi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Ketua Tim Penyusun RUU AP, Prof. Eko Prasojo, kelak objek PTUN bukan hanya keputusan tertulis dari pejabat tata usaha negara. Jika draft yang sekarang disetujui bersama DPR dan Pemerintah, maka perbuatan faktual pejabat administrasi negara juga bisa menjadi objek gugatan TUN.

Selama ini, keputusan TUN yang bisa digugat harus merupakan penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual, dan final. Yurisdiksi PTUN akan bertambah jika rumusan “perbuatan faktual” disetujui. Intinya, PTUN akan diberi wewenang memeriksa dan memutus perkara tindakan administrasi pemerintahan yang menyebabkan kerugian materiil dan immateriil. “Objek hukumnya diperluas, tidak hanya keputusan tertulis, tetapi juga keputusan tidak tertulis yang faktual,” jelas Prof. Eko Prasojo.

Ditambahkan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Indonesia itu, masuknya keputusan tidak tertulis yang faktual sebagai objek TUN dimaksudkan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang dirugikan akibat keputusan pejabat TUN. Eko melihat acapkali pejabat TUN mengeluarkan keputusan tidak tertulis, misalnya perintah lisan, yang menyebabkan perlindungan masyarakat terabaikan. Syaratnya, perbuatan pejabat TUN tadi faktual.

Dijelaskan Prof. Eko, perbuatan Faktual adalah semua perbuatan yang dilakukan oleh pejabat TUN yang tidak tertulis. Sedangkan pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang memperoleh kewenangan baik sifatnya atribusi, delegasi, maupun mandat untuk membuat Keputusan TUN yang sifatnya bisa tertulis dan tidak tertulis. “Semua keputusan yang sifatnya tidak tertulis dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat karena kewenangan yang dimilikinya berdasarkan delegasi, atribusi, dan mandat maka dikategorikan sebagai keputusan yang tidak tertulis atau perbuatan faktual,” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara Edi Rohaedi mendukung perluasan yurisdiksi PTUN. Mekanisme yang berlaku selama ini, -- PTUN atau perdata—kurang maksimal dari sisi pembuktian. Menggugat langsung secara perdata mungkin bisa memaksimalkan ganti rugi, tetapi tidak bisa menguji keabsahan tindakan pemerintah. Jadi, validitas tindakan hukum pemerintah kurang memadai dari sudut pandang hukum publik. Karena itu, diperlukan alat publik untuk mengujinya, yakni lewat PTUN. “Sebaiknya, kewenangan PTUN tidak hanya Keputusan TUN saja,” ujar Edi Rohaedi.

Gagasan dalam RUU AP bukan tak menuai kritik. “Jangan ngaco, faktual itu pasti masuk perdata,” tandas Prof. Anna Erliyana, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia. Pada prinsipnya, Prof. Anna mendukung perluasan objek gugatan TUN. “Tapi jangan sembarangan. Jangan masuk-masukin yang nggak karuan. Emangnya TUN tong sampah”.

Meskipun demikian, Prof. Anna Erliyana mengingatkan bahwa gagasan tersebut baru sebatas RUU. Jadi, belum tentu kelak diterima dan disahkan. Ia malah meminta tim penyusun membuat harmonisasi. “Kalau membuat suatu RUU kan mesti dilihat dulu dengan UU yang sudah ada, sinkron atau tidak. Paling tidak, dengarlah orang-orang yang berkecimpung di TUN,” tandasnya.

Keputusan TUN

Selain perbuatan aktual pejabat administrasi negara, poin penting yang juga mendapat perhatian adalah tindakan pejabat administrasi pemerintahan sebagai perbuatan melawan hukum. PTUN dapat mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum, dan menyatakan suatu tindakan pejabat AP merupakan perbuatan melawan hukum (PMH). Karena itu, bisa juga ada ganti rugi.

Sebelumnya, umum dipahami bahwa PTUN hanya berwenang untuk memutus batal atau tidak sahnya suatu Keputusan TUN (pasal 53 ayat 1 UU PTUN). Dalam RUU AP, kewenangan PTUN diperluas tidak hanya memutus batal atau tidak sah, tetapi juga dapat mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum, dan menyatakan tindakan AP merupakan perbuatan melawan hukum, dan ganti rugi.

Rumusan ini, jelas Prof. Eko, diperlukan untuk memperkuat daya paksa putusan PTUN dan eksistensi PTUN itu sendiri. “Selama ini banyak putusan PTUN yang tidak dijalankan oleh pejabat karena minimnya daya paksa putusan,” ujarnya.

Namun, menurut Prof. Anna Erliyana, kewenangan PTUN dalam hal mengubah, mencabut, membatalkan, menyatakan batal demi hukum suatu SK TUN sudah dari dulu ada dalam praktik TUN walaupun tidak secara tertulis diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968 sebagaimana diubah melalui UU No. 9 Tahun 2004.

DOSEN UMSU

Gugatan Dosen UMSU Dikabulkan

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan mengabulkan gugatan lima dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dan memerintahkan pimpinan perguruan tinggi itu untuk mengembalikan status dan hak mereka. Ketetapan tersebut merupakan putusan majelis hakim yang terdiri dari Jumanto dan Fatimah Nur Nasution yang diketuai H Zainal A Madjid pada persidangan di PTUN Medan, Kamis (31/7). Kelima dosen tersebut adalah Nur Rahma Amini, Nalil Khairiyah, Nurzannah, Muslim Simbolon, dan Salmi Abbas. Kelima dosen tersebut merasa tidak bersalah atau belum mendapatkan surat peringatan saat dituding telah melakukan kesalahan sehingga mereka mengajukan gugatan pada tanggal 25 Maret 2008 terhadap Rektor UMSU. (ANTARA/BOY)

MAHASISWA

Gugatan Budhi Sumarso Mulai Diperiksa PTUN Ratusan Mahasiswa Memberi Dukungan Moral

BANDUNG, (PR).- Sidang perdana kasus gugatan Budhi Sumarso, mantan mahasiswa Fisika ITB terhadap Rektor ITB, Prof. Wiranto Arismunandar digelar Rabu (18/9) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Ratusan mahasiswa ITB yang memberikan dukungan moral kepada Budhi, memenuhi ruangan sidang yang kapasitasnya tak terlalu besar. Para mahasiswa yang datang beramai-ramai berjalan kaki dari kampus ITB menuju gedung PTUN sekitar pukul 09.00, dihadang tiga mobil petugas keamanan dan dua panser di Jl. Tamansari, persis di depan gedung Rektorat ITB. Petugas keberatan jika rombongan mahasiswa yang membawa sejumlah poster itu berjalan kaki hingga ke tujuan. Namun akhirnya mereka sepakat perjalanan dilanjutkan menggunakan kendaraan. Setibanya di PTUN, aparat kepolisian dari Polres dan Polwiltabes Bandung tetap berjaga-jaga, sementara ke dua panser menunggu di depan Gedung Sate. "Kehadiran petugas di sini hanya untuk berjaga-jaga saja, sebab kami khawatir rombongan akan mengganggu ketertiban lalu lintas. Apalagi jika mereka beramai-ramai berjalan kaki ke PTUN," tutur seorang petugas. Persidangan baru dimulai pukul 10.30, setelah sebelumnya mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di halaman PTUN. Majelis hakim yang menyidangkan perkara No. 42/G/1996/PTUN Bandung tersebut terdiri dari Satri Rusyad, SH (ketua), Arif Nurdua, SH dan Yodi M. Wahyunadi. Budhi Sumarso diwakili enam pengacara dari LBH Bandung. Mereka adalah Dr. Adnan Buyung Nasution, SH, Ny. Amartiwi Saleh, SH, Ny. Melani, SH, Haneda Sri Lastoto SH, M. Irwan Nasution, SH dan Bambang Rikihadi N, SH. Kuasa hukum ITB diwakili tujuh orang pengacara. Yaitu Soepomo, SH, Prakoso SH, Isa Ansori, SH, Patalana ,SH, Ratimin, SH, Suharto, SH, dan Sumitra, SH. Yang dipersoalkan Budhi dalam gugatannya adalah Surat Keputusan Rektor No. 233/SK/PT07.H/O/1996, tanggal 8 Mei 1996 tentang pencabutan status kemahasiswaannya. Surat itu dikeluarkan Rektor setelah meninggalnya Zaki Tiffany Lazuardian (18), mahasiswa Jurusan Fisika ITB, yang baru selesai mengikuti OS di Himpunan Mahasiswa Fisika (Himafi), yang disebut Program Penerimaan Anggota Muda (PPAM). Menurut Ny. Melani, tindakan Rektor mengeluarkan surat keputusan itu, sewenang-wenang dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintah yang baik. Pasalnya, SK bertentangan dengan asas larangan berlaku surut. "SK ditetapkan 8 mei 1996, tetapi keputusan mulai berlaku 2 Februari 1996," jelasnya. Padahal, seperti yang dikemukakan Dr. Philipus M. Hadjon, SH, SK tidak boleh berlaku surut. Di samping itu, SK juga bertentangan dengan asas persamaan (egalite). Sebab kegiatan dan hukuman di PPAM Himafi 1995-1996, pada dasarnya relatif sama dengan PPAM Himafi tahun sebelumnya dan PPAM himpunan lain. Bahkan PPAM tahun 1995-1996 lebih ringan dari tahun sebelumnya. Tetapi panitia PPAM Himafi tahun sebelumnya tidak ada yang dicabut status kemahasiswaannya secara permanen. Turunnya SK, menurut Direktur LBH, sangat merugikan Budhi. Karenanya, Budhi berharap agar SK ditunda pelaksanaannya selama pemeriksaan sengketa TUN berjalan dan hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ganti rugi Selain menggugat SK pemecatan terhadap dirinya, Budhi juga menggugat ganti rugi materi kepada Rektor ITB sebesar Rp 3 juta untuk biaya yang telah dikeluarkannya selama kuliah di ITB. Pada sisi lain, akibat turunnya SK pemecatan, Budhi menjadi sangat tertekan dan masyarakat dapat memandang kematian Zaki adalah akibat kesalahannya. Padahal hal itu belum dibuktikan oleh peradilan pidana. Namun dalam jawabannya, kuasa hukum tergugat menolak dalil-dalil yang diajukan penggugat, sehingga meminta majelis hakim menolak gugatan. Menurutnya, keluarnya SK Rektor sudah melalui hasil pemeriksaan Komisi Disiplin ITB dan dibahas dalam rapat pimpinan. PPAM Himafi juga dinilai melakukan pelanggaran dalam kegiatannya. Antara lain, melebihi batas waktu kegiatan yang ditetapkan selama tujuh hari dan acara PPAM berlangsung melebihi pukul 23.00. Pelanggaran lain yang dilakukan PPAM adalah melakukan long march dan jurit malam, yang tidak ada dalam rincian acaranya. Untuk itulah, keputusan yang dikeluarkan Rektor sesuai prosedur. Bisa di PTUN-kan Persidangan tersebut tampaknya bakal berlangsung seru. Apalagi pada saat hampir bersamaan dengan digelarnya kasus itu di PTUN, pihak ITB kembali mengeluarkan sanksi terhadap 16 mahasiswa Teknik Sipil yang juga dinilai melanggar dalam kegiatan penerimaan anggota baru himpunannya. Menurut Oga Zano, seorang mahasiswa yang terkena sanksi, mereka akan mencari penjelasan kepada pihak rektorat berkenaan dengan jatuhnya sanksi 1-2 semester terhadap 16 mahasiswa Sipil. "Kami akan mencoba berdialog dan mencari penjelasan. Sebab, kami tidak tahu apa saja pelanggaran yang telah kami perbuat," ucap Oga mewakili rekan-rekannya. Mereka memang pernah dipanggil Komisi Disiplin (Komdis). Tetapi pemanggilan itu sifatnya seperti interogasi, karena pertanyaan yang diajukan hanya pencocokan terhadap hasil penyelidikan Komdis. Jika pihak rektorat tak bersedia diajak berdialog atau memberikan penjelasan, maka bukannya tak mungkin akan ditempuh jalur PTUN. Sementara itu, berkenaan dengan jatuhnya sanksi skorsing, Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil untuk sementara dibubarkan. Para anggota akan melakukan rapat anggota guna mencari upaya-upaya pembelaan.***

Sabtu, 04 Oktober 2008

HUT FH UNIVERSITAS SISINGAMANGARAJA XII



Posted in Berita Utama by Redaksi on Juli 16th, 2008
Medan (SIB)Peringatan Dies Natalis XXIV Fakultas Hukum Universitas Sisingamangaraja XII Medan diadakan di Aula Kampus Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, Senin (7/7) berlangsung sederhana dan meriah.Ketua PTUN Medan Yodi M Wahyunadi SH MH yang juga dosen tidak tetap FH US XII Medan mengatakan, dalam usia 24 tahun kalau diibaratkan umur manusia berarti sudah tamat sarjana dan sudah pantas dijadikan idola dan diharapkan memberi sumbangsih demi kemajuan nusa dan bangsa. Justru itu saya berkeinginan untuk memberikan ilmu dalam hukum kepada mahasiswa, bahkan hakim PTUN yang lama Agus Budi Susilo SH MH juga dosen US XII, yang sekarang sudah bertugas di Semarang.“Saya ingin mendarmabaktikan ilmu saya untuk mahasiswa, namun kesediaan saya ini ditanggapi dengan keraguan oleh dekan mungkin takut bayaran saya mahal. Jangan kuatir pak dekan, tanpa dibayar pun saya siap mengajar,” kata Yodi yang disambut tepuk tangan dari yang hadir.Saya berkeinginan mahasiswa US XII mempunyai kemampuan praktek selain teori. Kematangan emosi dan spiritual sudah ditanamkan kepada mahasiswa sehingga mahasiswa tidak perlu gentar ketika telah lulus dan kemudian menghadapi masyarakat. Dengan modal itu mahasiswa harus siap dan harus mampu membuka lapangan kerja, katanya.Fakultas Hukum banyak dimana-mana, karenanya saudara harus unggul. Kalau mau berperang harus ada senjata. Senjata kita adalah ilmu pengetahuan. Mahasiswa jangan hanya menunggu dari dosen, namun harus mengembangkan dari berbagai buku, jurnal dan internet. Kemampuan dan kemauan mahasiswa terlihat ada namun masih perlu diasah dan ditingkatkan. Karena dalam ilmu hukum sangat dituntut kerajinan dan kemampuan bahasa Inggris. Kepada alumni diharapkan mendukung dan tidak melupakan almamater Fakultas Hukum US XII Medan, kata Yodi.Sebelumnya Dekan FH US XII Medan Ferro Sinambela SH MHum mengatakan, masalah penegakan hukum maupun penyimpangan hukum tidak terlepas dari tanggungjawab lembaga pendidikan yang mendidik alumni tersebut. Untuk mempersiapkan diri, alumni FH US XII dibuat satu program, tidak hanya IQ yang dituntut tetapi spiritual dan emosional harus sejalan agar sarjana yang dihasilkan mempunyai moral, ilmu dan beragama. Alumni FH US XII hingga kini tercatat 1.500 orang, katanya.Sementara Kepala BAAK M Niarita Bukit SE MSi mengatakan, selamat ulang tahun FH ke XXIV, semoga diusianya yang semakin dewasa ini dapat memberikan kontribusi yang terbaik bagi kita semua dan semakin maju serta pantang mundur. Juga selamat ulang tahun ke 50 kepada Dekan FH Ferro Sinambela SH MHum.Peringatan Dies ditandai dengan penyerahan tropy kepada mahasiswa berprestasi 2008 Maikel Tendo Sihite, penyerahan sertifikat kepada Kosmos Duhu Amajihono serta sertifikat peserta lomba mahasiswa berprestasi kepada 13 mahasiswa. Turut menyampaikan sambutan Rektor US XII diwakili Purek III Ir Rudolf Marpaung MSi, Pudek I Getty R Sitio SH MKn, Dekan, alumni diwakili Tardi Siregar SH, dosen diwakili Marice Silitonga SH, Ketua PTUN Medan dan Kepala BAAK. (M5/h)

Percobaan

Selamat datang di blog kami. Ini masih percobaan. Semoga bermanfaat isinya bagi yang mengakses.

Terima kasih