Jumat, 05 Juni 2009

KEPATUHAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H


Setelah Amandemen UUD 1945, eksistensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tertuang jelas dalam konstitusi. Pasal 24 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bagian dari kekusaan kehakiman yang merdeka dan secara heirarki berada di bawah Mahkamah Agung yang bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Indonesia sebagai negara demokrasi wajib memberdayakan rakyatnya, menghormati hak-hak rakyatnya, dan berupaya mewujudkan civil society. Salah satu elemen penting perwujudan kedaulatan rakyat dan civil society adalah adanya Pengadilan TUN yang kuat dan dapat memberikan rasa keadilan kepada rakyatnya. Melihat kenyataan ini, jelas pelaksanaan putusan PTUN merupakan kebutuhan mendesak.
Selama delapan belas tahun eksistensi PTUN di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN yang tidak dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Harapan masyarakat terhadap Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa tata usaha negara, belum sepenuhnya dapat terealisasi. Salah satu harapan yang sangat penting dari pencari keadilan melalui PTUN, mengenai pelaksanaan putusan.
Putusan PTUN yang harus dipatuhi untuk dilaksanakan terdiri dari :
• Penetapan Penangguhan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (schorsing) Pasal 67 UU 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004
• Putusan yang telah mempunyai kekuataan hukum tetap.
Dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) dan perubahannya UU No. 9 Tahun 2004, PTUN melalui Ketuanya, hanya sebagai Pengawas Pelaksanaan Putusan PTUN.
Pasal 119 menyebutkan, “Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Siapa pelaksana putusan PTUN ? Yaitu Tergugat itu sendiri. Posisinya selalu ditempati oleh Badan/Pejabat TUN. Memang berbeda dengan perkara perdata, pelaksana putusan adalah di luar pihak yang berperkara, dari Pengadilan itu sendiri melalui Ketua Pengadilan Negeri dengan dibantu Panitera dan Juru Sita bahkan kalau perlu dengan bantuan aparat keamanan.

Pejabat TUN, sebagai pihak yang bersengketa sekaligus pelaksana putusan. Dapatkah dengan sukarela melaksanakannya ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bergantung kepada kepatuhan pejabat itu sendiri untuk melaksanakan Putusan PTUN. Di dalam praktek, justru masih banyak pejabat yang belum mematuhi Putusan PTUN.
Dari suatu penelitian yang pernah dilakukan tahun 2005 dengan sampel PTUN Medan sebagai objek penelitiannya, bahwa putusan PTUN yang dilaksanakan oleh Tergugat di wilayah hukum itu hanya sekitar 30% (Supandi, Disertasi, PPS.USU, 2005).
Selain itu pula pengalaman penulis di dalam praktek selaku Ketua PTUN baik di PTUN Medan maupun PTUN Jakarta, banyak keluhan-keluhan dari pencari keadilan yang harapannya setelah memenangkan proses peradilan belum terwujud. Walaupun upaya secara hukum dalam pelaksanaan putusan telah semuanya ditempuh. Dari mulai pengiriman salinan putusan PTUN sampai dengan diumumkannya pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN di media massa cetak. Juga banyak Penangguhan Pelaksanaan keputusan TUN tidak dipatuhi.
Kondisi ini, menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan menurunkan wibawa pemerintahan. Untuk itu perlu upaya meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN melaksanakan Putusan PTUN?

Upaya meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN
Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN melaksanakan putusan PTUN, melalui perubahan UU. Pola yang dianut oleh Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun yaitu pola eksekusi otomatis, dan paling ekstrim dengan peneguran berjenjang diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 menjadi adanya upaya paksa berupa uang paksa dan sanksi administrasi terhadap Pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan PTUN.
Perubahan yang mendasar dalam UU No. 5 tahun 1986 terletak pada Pasal 116 ayat (4) ayat (5) dan ayat (6). Sehubungan dengan masalah eksekusi, perlu disampaikan berupa perkembangan revisi undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 116, UU No. 5 tahun 1986, sebagai berikut:
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari;

(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan tersebut;
(4) Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan;
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan setelah pemberitahuan dari Ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut;
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal in kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
Pasal 116, UU No. 9 tahun 2004, sebagai berikut:
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari;
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Adanya revisi Pasal 116 dapat dikatakan merupakan kemajuan dalam pengembangan kepastian hukum bagi pelaksanaan (eksekusi) suatu Putusan PTUN. Dalam Pasal 116 lama, pelaksanaan putusan lebih bersifat dan mengandalkan pada kesadaran Pejabat dan dorongan oleh instansi hiekrarkis sendiri yang banyak tergantung pada tingkat kepatuhan hukum tergugat. Sedangkan Pasal 116 baru mengenal 2 (dua) jenis upaya paksa yang dapat diterapkan manakala pihak tergugat (Pejabat TUN) tidak mentaati dan melaksanakan secara suka rela putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaraan sejumlah uang paksa dan atau sanksi administrtif. Juga dimungkinkan adanya pengumuman (publikasi) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan PTUN dalam media massa cetak.
Pemberlakuan upaya paksa (uang paksa dan sanksi administratif) merupakan salah satu tekanan agar Pejabat TUN melaksanakan Putusan PTUN. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan upaya paksa berupa uang paksa dan sanksi administratif masih menimbulkan permasalahan, karena sampai sekarang penerapan lembaga upaya paksa tidak berjalan. Belum adanya piranti hukum untuk melaksanakan upaya paksa tersebut.
Untuk itu, perlu pemerintah mengeluarkan Peraturan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan upaya paksa. Di dalamya mengatur :
Siapa yang berwenang memerintahkan upaya paksa ( uang paksa atau sanksi administratif) ?
Menyangkut sanksi administrtif :
 Sanksi administratif apa yang dapat dikenakan ?
( Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya).
 Bagaimana mekanisme pemberian sanksi administratif ?
Menyangkut uang paksa :
Kepada siapa uang paksa dibebankan ? ( Pribadi atau dinas )
Sejak kapan uang paksa mulai diberlakukan ?
Bagaimana mekanisme pembayaran uang upaya paksa ?
Pengumuman di media massa cetak terhadap pejabat yang tidak melaksanakan putusan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Peradilan Di Bidang Kejurusitaan Pada Peradilan Tata Usaha Negara yang memuat contoh pengumuman di mass media cetak.
Ini pun masih ada kendala, selain biaya yang cukup tinggi untuk mengumumkan di media massa cetak yang dibebankan kepada pemohon eksekusi, juga tidak ada sanksi yang tegas yang dapat dikenakan kepada Pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan PTUN.
Langkah konkrit yang dilakukan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), mengeluarkan Surat (Surat Menpan No. B.471/I/1991 tanggal 29 Mei 1991, Perihal : Pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Surat Menpan No. 115/M.PAN/4/2003 tanggal 09 April 2003 Perihal : Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara; Surat Menpan No. SE/24/M.PAN/8/2004 tanggal 24 Agustus 2004, Perihal : Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara) yang ditujukan kepada Para Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur BI, Para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara, Para Gubernur, Para Bupati/Walikota, Para Direksi BUMN/BUMD, Para Pimpinan Badan Hukum Milik Negara untuk di lingkungannya masing-masing mentaati dan melaksanakan putusan PTUN. Apabila Pejabat TUN yang bersangkutan tidak mengindahkan Putusan PTUN agar atasan Pejabat TUN tersebut memberikan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Hal ini merupakan dorongan positif untuk meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN melaksanakan Putusan PTUN.
Setiap perintah pelaksanaan dari Ketua PTUN kepada Pejabat TUN mendasarkan pula pada Surat Menpan dan Menpan mendapat tembusan suratnya.
Memang bukan tidak ada pejabat yang patuh, ada juga pejabat TUN yang patuh melaksanakan putusan PTUN dengan kesadaran sendiri dan telah melaporkannya kepada Ketua PTUN. Tanpa perlu adanya surat perintah dari Ketua PTUN. Tentu kepatuhan pejabat TUN semacam itu yang patut dijadikan suri tauladan bagi Pejabat-pejabat TUN lainnya.
Penutup :
Dalam praktik masih banyak Pejabat TUN yang belum mematuhi putusan Pengadilan TUN. Pelaksanaan putusan pada akhirnya tergantung pada kepatuhan pejabat TUN itu sendiri. Upaya paksa yang ada tidak berjalan efektif. Kalaupun ada kekuatan memaksa itu pun tergantung pada pejabat TUN yang secara hierarki kepangkatan berada di atasnya.
Keadaan tersebut cukup memprihatinkan, karena prinsip akan adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam pemerintahan menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Saran :
Untuk meningkatkan kepatuhan Pejabat TUN, saya menyarankan :
1. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana upaya paksa.
2. Pejabat TUN yang telah melaksanakan putusan melaporkan kepada Ketua PTUN dengan tembusan salah satunya kepada Menpan
3. Apabila tidak dimungkinkan melaksanakan Keputusan TUN karena adanya perubahan (baik keadaan alam, maupun peraturan perundang-undangan) agar melaporkan kepada Ketua PTUN.
4. Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA untuk pedoman Ketua PTUN dalam Pengawasan pelaksanaan putusan PTUN.
5. Setiap Pejabat yang diperintahkan melaksanakan Putusan PTUN wajib melaporkan kepada Menpan.
6. Menpan diberikan kewenangan untuk merekomendasikan Pejabat-pejabat yang diangkat berdasarkan catatan yang memuat Pejabat yang taat melaksanakan Putusan PTUN.

Senin, 03 November 2008

KEADAAN MAHKAMAH AGUNG

Mahkamah Agung Butuh "Darah Segar"

Selasa, 4 November 2008 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Agung membutuhkan suntikan ”darah segar” yang mampu mempercepat jalannya reformasi peradilan. Untuk itu, diperlukan pemimpin MA yang menjanjikan percepatan pembaruan dan mampu membawa perubahan segera.
Sayangnya, sejumlah pihak meragukan adanya sosok tersebut di kalangan hakim agung yang kini berada di MA.

Terkait hal itu, Senin (3/11), mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga mengusulkan perlunya terobosan hukum demi memasukkan calon yang layak memimpin lembaga peradilan tertinggi tersebut.

”Pimpinan MA mendatang harus memiliki keberanian, harus mengetahui isi perut MA, dan apa saja yang terjadi di dalamnya. Saya mengusulkan orang lama yang sudah punya pengalaman, tetapi kemudian keluar dari MA. Saya konkret mengusulkan Muladi (sekarang Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional) sebagai Ketua MA,” ujar dia.

Muladi memang sempat menjadi hakim agung, tetapi mengundurkan diri. Muladi sempat bersaing dengan Bagir Manan sewaktu pencalonan Ketua MA pada 2001. Namun, Presiden Abdurrahman Wahid kala itu menunjuk Bagir Manan sebagai Ketua MA.
Menurut Benjamin, Muladi mungkin masuk kembali ke MA jika Presiden bersedia menerbitkan keputusan presiden (keppres) pengangkatan kembali sebagai hakim agung. ”Yang dibutuhkan cuma komitmen pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan MA untuk mengedepankan pembaruan peradilan. Sekarang tergantung mereka serius atau tidak. Kalau serius, pemerintah tinggal terbitkan keppres. Lagi pula itu tidak bertentangan dengan UU,” ujar Benjamin.
Usulan tersebut, jelas dia, telah menjadi pemikiran beberapa hakim agung seperti dirinya dan Bustanul Arifin.

Keraguan tentang adanya sosok yang layak menjadi Ketua MA juga dikemukakan sejumlah kalangan. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, mengaku tidak melihat adanya sosok ideal di antara hakim agung. Demikian pula Ketua Pelaksana Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto yang mengaku tak memiliki calon.
MA bersiap
Sementara itu, Pelaksana Tugas Ketua MA Harifin A Tumpa menjelaskan, pihaknya akan menggelar rapat pimpinan dalam waktu satu dua hari mendatang. Rapim akan membicarakan persiapan pemilihan ketua MA dan wakil ketua MA, seperti pembentukan panitia dan tata cara pemilihan.
Harifin menegaskan, pemilihan tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, mengingat ada beberapa hakim agung yang akan menunaikan ibadah haji. Pemilihan juga akan menunggu masuknya enam hakim agung baru hasil pilihan DPR ke MA.
”Suara mereka penting karena mereka nantinya yang akan dipimpin oleh Ketua MA baru,” ungkapnya. (ana)

PILIHAN MENJADI KETUA MA

Ketua Baru dan Reformasi MA

Kompas, Selasa, 4 November 2008 00:42 WIB

Achmad Ali

Setelah Bagir Manan pensiun sebagai Ketua Mahkamah Agung, pimpinan sementara Ketua MA dijabat Harifin Tumpa. Lalu, akan dilakukan pemilihan ketua definitif, yang merupakan hak pilih seluruh hakim agung.

Saya tidak ingin terlibat polemik usia ideal Ketua MA, tetapi kita hormati hak setiap hakim agung untuk menentukan pilihan dan kepercayaannya, dengan mengacu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang lebih penting adalah, dengan ketua baru, bagaimana MA ke depan. Lebih jelas lagi, bagaimana upaya nyata dan prioritas yang dilakukan dalam rangka reformasi MA.

Tak boleh disia-siakan

Pergantian Ketua MA adalah momen yang tak boleh disia-siakan oleh kalangan MA guna mulai mengakomodasi secara bijak dan realistis, aneka kritikan publik yang relevan (tidak kebablasan) selama ini.
Betapa besar peran pengadilan dalam masyarakat modern, dikemukakan Justice Rose E. Bird, Ketua MA Negara Bagian California-AS, “If our courts lose their authority and their rulings are no longer respected, there will be no one left to resolve the divisive issue that can rip the social facic apart. The courts are a safety wanve without which no democratic society can survise”.
Seperti sinyalemen Hakim Agung Bird, MA harus tampil sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang memiliki kewibawaan, sebab hanya dengan demikian berbagai putusannya dihiraukan dan dihormati masyarakat. Betapa besar peran pengadilan, terutama MA sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi, terkait dengan yang pernah dinyatakan Presiden ke-3 AS, Thomas Jefferson, ”The implementation of the law is more important than the making of them”.
Kepemimpinan baru MA harus diterima dengan sikap yang tidak pars pro toto, yang menggeneralisasi seolah semua hakim agung adalah sosok yang memiliki kinerja buruk. Kenyataan, ada banyak hakim agung yang memiliki integritas baik, komitmen tinggi untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta penguasaan dan wawasan hukum yang luas, ditambah pengalaman cukup, baik dari jalur hakim karier maupun nonkarier. Karena itu, upaya reformasi MA untuk tampil sebagai ”MA yang responsif” bukan kemustahilan yang senantiasa memunculkan pesimisme. Yang penting, ada tidaknya ”kemauan” dan ”komitmen” kalangan hakim agung, dan sekaranglah saatnya.

Berbagai langkah reformasi MA harus dalam rangka mengoptimalkan perannya, yang berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

Selain reformasi kelembagaan yang sementara ini revisi undang-undangnya digodok di DPR, yang tak kalah penting adalah reformasi kualitas sosok hakim agung. Targetnya, melahirkan hakim agung yang memiliki karakteristik hakim agung ideal, yaitu integritas, berkepribadian tak tercela, adil, profesional, dan memiliki kreativitas untuk—jika dibutuhkan—melakukan terobosan melalui putusannya.
Mengingat proses merekrut hakim agung merupakan kewenangan Komisi Yudisial, maka ke depan, amat diharapkan revisi UU MA, MK, dan Komisi Yudisial akan menjamin terwujudnya hubungan harmonis antara MA, MK, dan Komisi Yudisial. Hal ini mau tak mau memengaruhi persepsi publik terhadap lembaga penegakan hukum kita.
Karakteristik profesi hakim

Salah satu karakteristik profesi hakim menurut Richard A Posner, (2008 : 206 ), ”A judge is a generalist who writes an opinion under pressure of time in whatever case, in whatever field of law, is assigned to him”.

Mengingat profesi hakim yang generalis dan senantiasa dituntut memutus dalam waktu cepat berdasar asas the speedy administration of justice (peradilan cepat) dan asas non-liqued (tidak boleh menolak perkara apa pun yang diajukan kepadanya), apalagi tugas hakim agung bukan lagi sebagai iudex facti (hakim fakta), melainkan iudex iuris (hakim yang menilai ada atau tidaknya kesalahan dalam penerapan hukum), maka keterampilan rechtsvinding (penemuan hukum), rechtscheppend (penciptaan hukum) dan rechtstoepassing (penerapan hukum) mutlak harus terus ditingkatkan, baik secara otodidak maupun melalui berbagai pelatihan formal bagi para hakim agung.
Hal itu juga akan menghasilkan aneka putusan MA yang tidak hanya adil, tetapi juga kian responsif karena seperti dikatakan Justice Oliver Wendell Holmes, ”Dalam proses menghasilkan putusan, para hakim bersumber dari kebutuhan pada masanya, moral umum dan teori-teori politik, intuisi tentang apa yang menjadi kebutuhan kebijakan umum, dan selaras dengan vorverstandnis (prapengetahuan, prasangka) yang juga dipunyai hakim dan dipandu oleh suatu kesadaran situasi (a situation sense) yang dihasilkan oleh bekerjanya sekelompok faktor yang sifatnya internal maupun eksternal”.

Achmad Ali Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin

Sabtu, 01 November 2008

KEBIJAKAN PERPAJAKAN

PERUMUSAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

WIBAWA PENGADILAN

Kita Tak Habis Mengerti
Oleh Satjipto Raharjo

Kompas, Sabtu, 1 November 2008 00:34 WIB

Berkali-kali kalimat ”kita tak habis mengerti” muncul dalam tajuk Kompas berjudul ”Rontoknya Wibawa Pengadilan” (23/10/2008). Suatu pengeroyokan, pembunuhan, dan penganiayaan telah terjadi di Lantai Tiga Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebenarnya Kompas dan kita semua tidak terlalu tidak-habis-mengerti, mengapa di sebuah gedung di negeri ini, yang seharusnya merupakan kompleks yang disucikan (sanctuary) dan bermartabat, harus dikotori peristiwa seperti itu. Mengapa gedung yang seharusnya dimuliakan diinjak-injak. Pengeroyokan dan pembunuhan di ruang sidang? Ini luar biasa.
Kita mengerti karena Kompas sering memuat hasil survei yang menggambarkan ketidakpuasan publik terhadap prestasi pengadilan kita, dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung (MA). Ihwal jual beli perkara dan lainnya tidak lagi terdengar dan mengejutkan banyak orang Indonesia. Tahun 1990-an Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang ingin membersihkan dan mengembalikan martabat MA justru terpental.


Pernah berwibawa
Laporan miring tentang pengadilan kita itu mencapai puncak seiring terbitnya buku Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse” (2005). Simpulan Pompe, pertama, keberanian telah merosot menjadi sikap pengecut (cowardice). Kedua, kemampuan menjadi ketidakmampuan (incompetence). Ketiga, integritas menjadi korupsi struktural. Keempat, penghormatan merosot menjadi pelecehan (contempt). Memang amat menyakitkan, tetapi Pompe berbicara berdasar data yang keras.
Jika dikatakan sebagai kemerosotan, maka setidaknya di masa lalu republik ini pernah memiliki MA dan hakim-hakim agung yang berani, mampu, penuh integritas, dan berwibawa. Pompe dengan jujur menyebut sejumlah nama ketua MA yang berwibawa dan bersih (squeakly clean), seperti Kusumah Atmadja dan Soebekti. Begitu berani dan berwibawa dalam menjunjung martabat MA, sehingga dalam suatu jamuan negara Ketua MA Kusumah Atmadja pernah marah-marah karena tidak mendapat tempat duduk terhormat di samping Presiden. Ancam-mengancam antara Kusumah Atmadja dan Presiden Soekarno sering terjadi, demi menjaga wibawa dan martabat MA.
Menggunakan teori kepolisian bernama Broken Window sebagai referensi, pengadilan sudah sejak beberapa lama rusak tanpa ada hasil perbaikan berarti. Teori itu mengatakan, manakala jendela rumah pecah dan tidak kunjung diperbaiki, itu merupakan isyarat, wilayah permukiman itu sudah menunjukkan tanda-tanda menuju keambrukan. Lama-lama ia akan menjadi daya tarik bagi orang-orang tidak baik untuk mangkal sehingga akhirnya benar-benar menjadi sarang kejahatan. Polisi sudah harus segera masuk manakala baru melihat ada jendela-jendela pecah tanpa perawatan, sebelum tempat itu benar-benar menjadi sarang penjahat. Teori itu mungkin juga dapat menjelaskan mengapa aksi berbau mafia itu sudah dimulai dari tempat parkir pengadilan.
Memang, kita tak boleh begitu saja menuding ”ada apa dengan pengadilan?”, tetapi lebih daripada itu juga perlu bertanya ”ada apa dengan bangsa kita?”
Saya melihat adanya kaitan antara demokratisasi dan kemerosotan wibawa pengadilan. Demokratisasi, keterbukaan, akuntabilitas yang digenjot sejak reformasi 1998 telah banyak menampilkan wajah baru Indonesia. Meski demikian, ia juga menimbulkan banyak situasi kekerasan dan kebebasan nyaris tanpa batas dan lain-lain. Orang Indonesia sedang menikmati rasanya bebas, sesudah puluhan tahun ditekan. Semua menjadi bebas untuk dilakukan. Wilayah pengadilan yang seharusnya memberikan kesan angker tidak lagi mempan untuk menjauhkan demonstran dan simpatisan masuk dan menginjak-injak rumah keadilan.


Tambang emas
Kita teringat buku Ortega y Gasset, La Rebelion de las Masas (1930), yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, The Revolt of the Masses, De opstand der horden. Saya pernah bertanya, apakah ini demokrasi atau bangkitnya para preman? (”Demokrasi atau Bangkitnya ’Preman’”? Kompas, 4/5/2005). Pemandangan yang sekarang banyak terlihat di pengadilan sepertinya menampilkan kembali potret Eropa yang diambil Ortega pada dekade awal abad kedua puluh itu.
Sudah sejak lama penghormatan bangsa terhadap para hakim cukup rendah, apalagi kini pengadilan kian banyak mempertontonkan sisi yang memancing rasa tidak hormat. Advokat almarhum Yap Thiam Hien pernah mengeluh, mengapa kita begitu siap menghormati para menteri, bahkan para direktur jenderal, daripada para hakim, termasuk hakim agung? Mengapa dalam berbagai pertemuan, kita gatal untuk berdiri jika ada pembesar pemerintahan masuk dan menganggap hakim yang lewat seperti angin lalu?
Dewasa ini, atmosfer lingkungan atau masyarakat yang banyak korup menambah runyam pengadilan. Bagi mereka yang berniat jahat, pengadilan telah menjadi tambang emas yang menggiurkan.
Potret pengadilan kita memang sedang buruk, tetapi itulah potret kehidupan bangsa kita. Dibutuhkan tidak hanya masuknya pasukan profesional untuk mengubah dunia pengadilan, tetapi terutama para pejuang (vigilantes) yang berani dan memiliki gereget (compassion) untuk memulihkan citra dan wibawa pengadilan.
Kita tidak sedang bermimpi karena, di masa lalu, kita pernah mempunyai orang-orang hebat, bahkan seorang perempuan hakim agung yang cantas, seperti Sri Widoyati Soekito yang berani menolak tekanan Presiden Soekarno untuk mengambil putusan tertentu. Tinggal bagaimana memunculkan mereka dan mendorongnya menjadi kekuatan untuk mengubah pengadilan kita sehingga kembali bersinar dan berwibawa.


Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Kamis, 30 Oktober 2008

SENGKETA PILKADA

Sengketa Penghitungan Suara ke MK

Kamis, 30 Oktober 2008 00:51 WIB
Jakarta, kompas - Terhitung sejak 1 November mendatang, hasil penghitungan suara dalam pemilihan kepala daerah tidak lagi ditangani Mahkamah Agung. Wewenang tersebut akan ditangani Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam kaitan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, Rabu (29/10), menandatangani berita acara pengalihan penanganan sengketa tersebut. Hadir dalam acara tersebut jajaran ketua muda MA dan beberapa hakim agung serta hakim konstitusi.

Dalam sambutannya, Bagir mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan sebanyak 98 perkara, yang terdiri dari 74 perkara kasasi dan 24 perkara peninjauan kembali. Jumlah perkara tersebut diselesaikan sepanjang tahun 2005 hingga 2008.

Dari jumlah tersebut, jelas Bagir, hanya empat perkara yang permohonannya dikabulkan MA. Sisanya ditolak. ”Artinya, MA telah mengukuhkan hasil kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini memberikan gambaran bahwa KPU telah bekerja sebagaimana mestinya,” katanya.

Hingga saat serah terima dilakukan, MA masih menangani dua perkara sengketa pilkada. Perkara pertama tinggal menunggu pengucapan putusan, sementara perkara lainnya baru didaftarkan.

MK siap

Sementara itu, Mahfud MD menyatakan, pihaknya sudah siap menangani perkara sengketa. Namun, ia menegaskan MK hanya akan menangani sengketa hasil penghitungan suara. ”Bukan sengketa pilkada, karena itu wilayah hukum pidana. Selesaikan di pengadilan,” katanya.

Menurut Mahfud, MK sudah berpengalaman menangani sengketa hasil penghitungan suara pada Pemilu 2004. Saat itu MK berhasil menyelesaikan sekitar 274 kasus dalam waktu 30 hari.
Selain itu, MK juga sudah menyiapkan perangkat yang akan digunakan, di antaranya video konferensi dan sistem pendaftaran perkara secara terhubung via internet. MK bekerja sama dengan 33 fakultas hukum di universitas negeri yang ada di tiap-tiap provinsi. MK telah mengalokasikan dana Rp 8,25 miliar (Kompas, 23/6).

MK juga sudah mengadakan pelatihan mengenai sistem informasi manajemen perkara kepada pegawainya. (ana)

Kamis, 23 Oktober 2008

ENAM HAKIM AGUNG HASIL SELEKSI

Sulitkah Mencari Hakim Agung?


Kompas, Jumat, 24 Oktober 2008 00:32 WIB

Oleh : Benjamin Mangkoedilaga

Sebanyak enam calon hakim agung terseleksi dari uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) Komisi Yudisial dan Komisi III DPR. Melalui media, diketahui hasilnya pas-pasan dan diperoleh setelah melalui jalan sulit.

Atas hasil itu, tidak perlu heran karena hampir semua pejabat publik yang dihasilkan melalui uji kelayakan dan kepatutan, hasilnya pas-pasan. Itu semua terjadi mungkin karena lembaga yang melaksanakannya juga pas-pasan.

Sulit mencari hakim agung?

Dulu, saat lembaga uji kelayakan dan kepatutan belum dikenal dan diterapkan, kita mampu menghasilkan hakim-hakim agung yang menjadi idola dan panutan para hakim sekarang, seperti Soebekti, Sarjono, Purwoto Gandasubrata, Asikin Kusumaatmadja, Adi Andojo, Bustanul Arifin, Bismar Siregar, Indroharto, Purbowati, dan Widoyati.
Mereka dilahirkan dan berpredikat sebagai hakim agung yang harum, bukan berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan selama dua jam, membuat karya tulis ilmiah, dan tes kesehatan, tetapi berdasarkan rekam jejak selama puluhan tahun sejak mereka berkiprah sebagai hakim selama 30-40 tahun. Jenjang yang mereka lalui pun bertahap, dari hakim tingkat pertama hingga ketua pengadilan tinggi. Seperti menjadi titian karier tetap bahwa jabatan ketua pengadilan tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makassar, dan Medan adalah jabatan yang selangkah lagi menuju hakim agung di Mahkamah Agung.

Kini, keadaannya berubah. Jabatan-jabatan prestisius itu bukan jaminan untuk dapat meraih puncak karier sebagai hakim agung di MA (Ben Suhanda).
Seperti disinggung pada awal tulisan, reformasi telah bergulir, penetapan karier tidak berlaku lagi. Kini, jenjang yang harus dilalui seorang hakim untuk mencapai puncak karier sebagai hakim agung di MA menjadi pertanyaan besar.

Kini posisi hakim agung tidak dapat dicapai dengan dan melalui berbagai putusan maupun penetapan yang dikeluarkan dalam jangka waktu panjang dan terpantau. Juga tidak lagi bisa ditempuh melalui berbagai penugasan ke daerah yang minim fasilitas, tidak pusing memikirkan kontrak rumah, tidak mengurus perpindahan sekolah anak-anak, dan lainnya. Itu semua tidak dialami seorang hakim agung nonkarier.

Soal integritas dan moralitas?

Terus terang tidak semua bersih, tetapi juga tidak semua miring dan kotor. Secara jelas dan transparan, banyak rekan sejawat hakim dan panitera bergelimpangan, mulai ketua pengadilan tinggi, hakim tinggi, ketua pengadilan negeri, dan hakim-hakimnya, mulai dari rekan-rekan sejawat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim tinggi sampai pengadilan tinggi di Jawa Timur. Terasa ngeri untuk berbuat hal-hal yang miring, terutama pada era Agung Mujono menjabat Ketua Mahkamah Agung. Sanksi dilaksanakan secara nyata dan transparan dan dibawa ke pengadilan. Hal ini membuat para hakim risi untuk melakukan hal-hal yang miring meski saat itu belum ada Komisi Yudisial dan lembaga uji kelayakan dan kepatutan.
Penataan karier dilakukan dan dipantau dalam jangka waktu panjang melalui berbagai penetapan dan putusan. Menurut hakim Bismar Siregar, putusan, penetapan, dan pemantauan perilaku itu merupakan mahkota yang disandang setiap hakim. Kini, sulitkah mendapatkan hakim-hakim yang kelak berkualitas, seperti Purwoto Gandasubrata dan Asikin Kusumahadmadja.

Kami mengenal banyak dan tidak sulit menemukan hakim-hakim jujur. Namun, temuan itu akan sulit jika hanya ditentukan dengan aneka persyaratan seperti sekarang, di mana seleksi dilakukan terbuka dengan instrumen seleksi yang ilmiah. Hal ini otomatis membuka kesempatan luas bagi semua orang untuk melamar, termasuk mereka yang sebenarnya hanya mencari pekerjaan atau status (Kompas, 17/10/2008).

Kita tak ingin publik terus dikecewakan dalam seleksi calon hakim agung. Di tengah kondisi MA yang terpuruk, publik berharap enam calon hakim agung itu mampu memberi kontribusi positif terhadap MA. Namun, kita juga bertanya mengapa DPR dan Komisi Yudisial tetap meloloskan calon hakim agung yang dua tahun lagi akan pensiun atau mereka yang justru sedang disorot publik?

Terlepas dari proses seleksi calon hakim agung kali ini, kita berharap DPR berani membongkar status quo penanganan perkara di MA. Revisi UU MA yang sedang dibahas DPR harus mengembalikan fungsi pengawasan hakim agung kepada Komisi Yudisial. DPR harus merekomendasikan diberlakukannya sistem kamar dan spesialisasi penanganan perkara di MA, bukan malah memperjuangkan perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun (Kompas, 17/10/2008).

Sebagai insan yang berlatar belakang hakim selama 35 tahun, saya amat kecewa karena tak satu pun hakim berlatar belakang TUN yang lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Akan dibawa ke mana kamar TUN di Mahkamah Agung. Masuknya para hakim nonkarier justru harus dikembalikan kepada kebutuhan.
Pada masa datang, mungkin apa yang saya kemukakan dapat menjadi sumbangan ke arah posisi MA yang terhormat.
Pertama, jika MA, Ikahi, Komisi Yudisial, dan DPR melaksanakan dialog secara intensif akan kebutuhan formasi hakim agung di Mahkamah Agung.
Kedua, jika Ikahi harus lebih banyak berperan sebagai organisasi perjuangan seperti awal kelahirannya, memperjuangkan cita-cita para hakim karier mencapai posisi puncak di Mahkamah Agung.

Ketiga, dalam rangka revisi UU, posisi dan formasi Komisi Yudisial harus kembali ke posisi awal naskah akademis tentang Komisi Yudisial, di mana minimal dua mantan hakim Agung berposisi sebagai anggota komisi. Ini pun untuk mengurangi resistensi dengan Mahkamah Agung.
Semoga akan lahir Mahkamah Agung yang terhormat dan dihormati.

Benjamin Mangkoedilaga Mantan Hakim Agung; Ketua Bersama Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI Timor Leste; Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI); Dosen FH Trisakti dan BhayangkaraSulitkah Mencari Hakim Agung?